Membangun Pembelajaran Bermakna
MEMASUKI abad ke-21, pendidikan menghadapi tantangan global yang menuntut sekolah menyiapkan peserta didik menjadi warga dunia yang produktif di tengah perubahan cepat (Chang, Huang, Kinshuk, 2018:2). Guru di berbagai negara terus memikirkan bagaimana mendidik murid agar siap hidup dan bekerja di era masyarakat informasi (Kuhthau, 2007:2).
Oleh karena itu, pendidik perlu mengembangkan keterampilan abad 21 melalui teknologi digital dan inovasi pedagogi. Pergeseran dari pendekatan konvensional yang berpusat pada guru menuju konstruktivisme yang berpusat pada siswa menjadi keniscayaan karena model lama terbukti tidak memadai untuk menghasilkan pembelajaran yang bermakna atau menyiapkan generasi yang adaptif menghadapi masyarakat global yang dinamis dan beragam (Wiske, 2006:27; Laur, 2013:vi; Tan & Nie, 2015:21; dan Kettler & Lamb, 2018:5).
PEMBELAJARAN BERMAKNA
Dengan pendekatan konstruktivis, siswa membangun pengetahuan melalui pengalaman belajar yang bermakna. Siswa belajar sesuai dengan kebutuhannya dengan memanfaatkan pengetahuan awal, bahkan menjadi kontributor dan produsen pengetahuan (Kettler & Lamb, 2018:5-6; Sailim & Mahmor, 2018:145).
Oleh karena itu, guru perlu menghadirkan pengalaman belajar yang interaktif agar siswa mampu mengembangkan pemahaman, keterampilan, dan sikap untuk menerapkan pengetahuan secara kreatif dan fleksibel sesuai dengan perkembangan (Wiske, 2006:27; Sailim & Mahmor, 2018:146).E-P
Membangun Pembelajaran Bermakna

MEMASUKI abad ke-21, pendidikan menghadapi tantangan global yang menuntut sekolah menyiapkan peserta didik menjadi warga dunia yang produktif di tengah perubahan cepat (Chang, Huang, Kinshuk, 2018:2). Guru di berbagai negara terus memikirkan bagaimana mendidik murid agar siap hidup dan bekerja di era masyarakat informasi (Kuhthau, 2007:2).
Oleh karena itu, pendidik perlu mengembangkan keterampilan abad 21 melalui teknologi digital dan inovasi pedagogi. Pergeseran dari pendekatan konvensional yang berpusat pada guru menuju konstruktivisme yang berpusat pada siswa menjadi keniscayaan karena model lama terbukti tidak memadai untuk menghasilkan pembelajaran yang bermakna atau menyiapkan generasi yang adaptif menghadapi masyarakat global yang dinamis dan beragam (Wiske, 2006:27; Laur, 2013:vi; Tan & Nie, 2015:21; dan Kettler & Lamb, 2018:5).
PEMBELAJARAN BERMAKNA
Dengan pendekatan konstruktivis, siswa membangun pengetahuan melalui pengalaman belajar yang bermakna. Siswa belajar sesuai dengan kebutuhannya dengan memanfaatkan pengetahuan awal, bahkan menjadi kontributor dan produsen pengetahuan (Kettler & Lamb, 2018:5-6; Sailim & Mahmor, 2018:145).
Oleh karena itu, guru perlu menghadirkan pengalaman belajar yang interaktif agar siswa mampu mengembangkan pemahaman, keterampilan, dan sikap untuk menerapkan pengetahuan secara kreatif dan fleksibel sesuai dengan perkembangan (Wiske, 2006:27; Sailim & Mahmor, 2018:146).
Konstruktivisme menegaskan bahwa pengetahuan adalah produk sosial dan belajar merupakan proses sosial. Interaksi sosial berperan penting dalam perkembangan kognitif (Pritchard, 2010:8-9). Siswa membangun pemahaman melalui pengalaman, refleksi, dan keterlibatan aktif, dengan cara menyerap informasi baru, mengorganisasikannya secara logistik, lalu mengintegrasikannya dengan pengetahuan yang dimiliki. (Meyer, 2002:227 dalam Sailim & Mahmor, 2018:147).
KARAKTERISTIK PEMBELAJARAN BERMAKNA
Pembelajaran menyampaikan ekspresi keterlibatan aktif, autentik, kolaboratif, intensional (bertujuan), berbasis inkuiri, dan membangun model mental (Howland, Jonassen & Marra, 2014:2). Sekolah perlu memberi pengalaman belajar yang membantu siswa mengenali dan memecahkan masalah, memahami fenomena baru, serta belajar bagaimana belajar.
Partisipatif (aktif) menekankan bahwa belajar merupakan proses adaptif dan alami yang memungkinkan manusia bertahan dan berkembang melalui interaksi dengan lingkungannya. Dalam konteks belajar, manusia menggunakan lingkungan, mengamati efek dari intervensi, lalu menafsirkan fenomena dan hasil perlakuan. Oleh karena itu, pembelajaran menuntut siswa untuk terlibat aktif dalam tugas yang relevan, melakukan tindakan, mengatur parameter, serta mengamati hasil dari proses tersebut (Howland, Jonassen, dan Marra, 2014:3).
Autentik (kontekstual) berarti pembelajaran dirancang melalui tugas yang kompleks dan mencerminkan tantangan nyata di luar kelas. Tugasnya mendorong siswa membingkai pertanyaan yang bermakna bagi diri mereka serta menghubungkannya dengan pengalaman pribadi dalam materi yang dipelajari (Ashburn, 2006:16).
Pembelajaran bermakna harus terkait dengan kehidupan nyata, bukan simulasi buatan. Guru berperan merancang tugas dan penilaian yang sesuai dengan tujuan siswa sekaligus standar kurikulum, terutama materi dengan pengalaman mereka, serta mengelola teknologi untuk mendukung keautentikan belajar. (Howland, Jonassen, Marra, 2014:4; Ashburn, 2006:17).
Koperatif/kolaboratif berarti siswa bekerja dalam kelompok untuk mencapai tujuan belajar melalui percakapan yang terfokus pada materi, berbagi informasi, menjelaskan ide, meninjau berbagai perspektif, serta menegosiasikan makna bersama. Dalam proses itu, mereka saling membantu mengajukan pertanyaan, memecahkan masalah, dan menghasilkan produk kolaboratif. Agar efektif, guru perlu memahami teori yang mencakup pendekatan tersebut (Ashburn, 2006:22).
Teknologi dapat dimanfaatkan untuk memperluas ruang diskusi, baik di kelas maupun lintas kota dan dunia, sehingga siswa menjadi bagian dari masyarakat pembelajar yang memperoleh beragam cara pandang dan solusi atas permasalahan. Bicara harus terus didorong karena secara alami merupakan sarana pembentuk makna (Howland, Jonassen, Marra, 2014:5).
Inkuiri aktif, yakni mendorong siswa mengajukan pertanyaan dan membangun kebiasaan berpikir tingkat tinggi (Ashburn, 2006:9). Melalui inkuiri aktif, mereka terlibat secara mendalam dalam menghadapi tantangan materi dengan cara merumuskan pertanyaan investigatif, mengumpulkan dan menyebarkan informasi, serta menafsirkan data untuk menghasilkan klaim yang logistik dan berbasis bukti (Ashburn, 2006:18). Proses itu dilakukan melalui empat langkah utama, yaitu merumuskan pertanyaan, mengumpulkan informasi, menganalisis dan menafsirkan, serta mengomunikasikan pemahaman baru.
Menetapkan tujuan merupakan ciri penting maksudnya. Seluruh kegiatan kelas perlu diarahkan pada pencapaian hasil yang jelas, yang mana guru dan siswa sama-sama memahami peran mereka sebagai pembelajar yang menawari menentukan tujuan dan memadukan kemajuan belajar. Guru perlu mengetahui apa yang telah dikuasai siswa, apa yang ingin mereka pelajari lebih dalam, serta bagaimana cara terbaik untuk mengajarkannya. Dari situ, guru membingkai materi dengan menetapkan standar hasil belajar dalam kurikulum dan merancang tugas yang mendorong tercapainya tujuan tersebut (Ashburn, 2006:10).
Membangun model mental dalam tugas pembelajaran 8alah ciri penting pembelajaran bermakna (Ashburn, 2006:9). Model mental berupa asumsi atau gambaran dalam pikiran yang mempengaruhi cara memahami dunia dan bertindak (Senge, 1994:11), sekaligus berfungsi menjelaskan dan memprediksi fenomena (Batlolona dkk, 2020:201). Representasi mental membantu siswa menguji pemahaman, menyadari pengetahuan yang mereka miliki, memperluas cara pandang, serta memahami isu-isu kompleks (Ashburn, 2006:21).
Dalam pembelajaran, model mental membantu guru membimbing siswa membangun pengetahuan secara mandiri melalui transformasi representasi eksternal ke internal sebagai dasar pembelajaran efektif (Akaygun, 2016 dalam Batlolona dkk, 2020; Utami dkk, 2019). Pengembangannya bertujuan memetakan konsep, ide besar, metafora, masalah, dan jaringan pengetahuan (Ashburn, 2006:21). Ide besar berfungsi sebagai kerangka untuk menafsirkan dunia sosial-fisik, koridor hal kompleks, serta menghubungkan konsep-konsep yang terpisah dengan pengalaman nyata siswa sehingga mereka mampu memahami proses belajar, persahabatan antarbidang studi, dan membangun pemahaman utuh yang aplikatif (Ashburn, 2006:120).
Sebagai penutup, ciri-ciri pembelajaran bermakna menjadi dasar penting agar siswa memperoleh pemahaman yang mendalam, tahan lama, dan relevan dengan kehidupan (Ashburn & Floden, 2006; Wiske, 2006). Untuk itu, sekolah perlu membangun organisasi yang mendukung, pimpinan dan guru bekerja sama menciptakan lingkungan yang inovatif, serta memanfaatkan teknologi secara spektrum sesuai dengan tujuan belajar (Wiske, 2006:38).
Peningkatan kualitas guru juga menjadi kunci melalui pengembangan pengetahuan, keterampilan, dan kepercayaan diri dalam merancang kurikulum serta mengelola kelas berbasis teknologi (Wiske, 2006:39). Pada tingkat kebijakan, kepemimpinan kolaboratif penting untuk mendorong partisipasi, memperkuat inovasi, mendukung inkuiri, dan menyiapkan kesiapan menghadapi risiko perubahan (Wiske, 2006:40).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar