DATA MODAL SOSIAL UNTUK PENDIDIKAN DAN PEMBERDAYAAN
BANGSA DAN NEGARA INDONESIA
(Oleh : SR.Pakpahan,SST)
BAB I
PENTINGNYA
DATA MODAL SOSIAL
I.1. Pengertian Dan Pentingnya Data &
Informasi
Data dan informasi tidak memiliki pengertian yang sama, baik
untuk kajian ilmiah atau untuk kaum intelektual. Data merujuk kepada
fakta-fakta berupa angka-angka, teks, dokumen, gambar, bagan, suara dan
sebagainya. Apabila ia telah disaring, diolah dan dianalisa melalui suatu
sistem pengolahan sehingga memiliki arti dan nilai bagi orang lain, maka data
itu berubah fungsi menjadi informasi. Dengan demikian sesuatu yang dipakai
dalam membuat keputusan sebenarnya adalah informasi, bukan data.
Ciri pokok
dari suatu data ialah adanya fakta. Daftar nama Sekolah Dasar swasta di suatu
propinsi, daftar Nomor Induk Pegawai (NIP) yang tercatat di BKN, daftar harga
karcis kereta api, adalah contoh data. Tetapi apabila seseorang menghubungi
Pusat Sistem Informasi ASEAN GAMES untuk mendapatkan keterangan mengenai jumlah
negara dan para atlet peserta olah raga ASEAN GAMES 2018, cabang olah raga apa
saja yang dipertandingkan untuk memperebutkan medali, berapa biaya yang
dikeluarkan untuk pelaksanaan tiap-tiap cabang olah raga, dan sebagainya, itu
adalah informasi.
Perkembangan
yang mencolok selama beberapa dasa warsa menjelang dimulainya abad ke-21
ditandai dengan semakin pentingnya informasi dan pengolahan data di dalam
banyak aspek kehidupan manusia. Pada saat yang sama tuntutan publik terhadap
peningkatan kinerja pemerintah menjadi semakin tinggi. Pengelolaan data dan
informasi yang baik pada akhirnya adalah suatu keharusan bagi pemerintah
(Kementerian/Lembaga/) untuk mengambil keputusan dalam menentukan kebijaksanaan
dan perencanaan pembangunan.
Data adalah bentuk jamak dari
datum, datum dari bahasa latin yang berarti “sesuatu yang diberikan”. Dalam
penggunaan sehari-hari data berarti sesuatu pernyataan yang diterima apa
adanya. Pernyataan ini adalah hasil pengukuran atau pengamatan suatu variabel
yang bentuknya dapat berupa angka, kata-kata, atau citra. Menurut Patton ( 1980) menjelaskan bahwa
analisis data adalah proses penyortiran dan pengaturan urutan data,
mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar.
Sedangkan menurut Taylor (1975)
mendefinisikan analisis data sebagai proses yang merinci usaha secara formal
untuk menemukan tema dan merumuskan hipotesis (ide) seperti yang di sarankan
dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan dan tema pada hipotesis. Dari uraian
di atas bahwa analisis data bermaksud mengorganisasikan data. Pekerjaan
analisis data dalam hal ini ialah mengatur, menyortir dan mengurutkan,
mengelompokkan, memberikan kode dan mengkategorikannya.
Hal diatas tidak lain adalah
kegiatan staistik yang dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi yang
diperlukan, kegiatan statistik itu dimulai dari perumusan sampling/metode
statistik, pengumpulan data dari responden, menyortir dan coding data yang
masuk, mengentri dan mengolah data, memvalidasi data, menganalisis data, dan
terakhir menyajikan data dalam bentuk publikasi atau buku untuk dipakai oleh
para konsumen data BPS, sebab Badan Pusat Statistik (BPS) adalah lembaga
pemerintahan yang resmi sebagai penyelenggara perstatistikan di daerah maupun
nasional sesuai menurut Undang-Undang nomor 16 tahun 1997 tentang
Per-statistikan.
Dalam Sisitem Statistik
Nasional (SSN) sesuai Keputusan Kepala BPS Pusat, Kepka nomor 5 tahun 2000
dijelaskan bahwa tanggung jawab BPS menyelenggarakan statistik dasar yang
pemanfaatannya ditujukan untuk keperluan yang bersifat luas, baik untuk
pemerintah maupun masyarakat, serta memiliki ciri-ciri lintas sektoral,
berskala nasional dan makro.
Sedangkan Kementerian/Lembaga
(K/L) bertanggung jawab menyelenggarakan statistik sektoral saja, yaitu
statistik yang pemanfaatannya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan suatu instansi
pemerintah tertentu dalam rangka penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan dan
pembangunan yang merupakan tugas pokoknya.
Cara mengumpulkan data dari
responden di dapat dengan 2 (dua) cara,
yaitu melalui model Sensus dan model Survey. Sensus dilakukan untuk mendapatkan
data yang memberikan informasi yang lengkap dari seluruh populasi yang di data.
Sedangkan Survey dilakukan untuk mendapatkan data yang cukup dari sebagian
populasi yang dapat mewakili karakteristik keseluruhan populasi tersebut. Dalam
pelaksanaan sensus memerlukan biaya yang banyak, petugas pendataan yang banyak,
kuesioner (bahan pertanyaan) yang lengkap, dan waktu pelaksanaannya memakan
waktu lama. Hasil yang diperoleh dari pendataan secara Sensus, datanya
cenderung memiliki kesalahan metode statistik (sampling error) yang kecil, namun kesalahan pada petugas pendata (non sampling error) adalah besar.
Sedangkan dalam pelaksanaan Survey memerlukan biaya yang sedikit, petugas
pendata yang sedikit, kuesioner (bahan pertanyaan) yang cukup, dan waktu
pelaksaaannya dalam waktu yang singkat. Namun hasil yang diperoleh dari
pendataan secara Survey, datanya cenderung memiliki kesalahan metode statistik
(sampling error) yang besar, dan
kesalahan pada petugas pendata (non
sampling error) adalah kecil.
Karena beban kerja
perstatistikan yang berat, maka BPS perlu berkoordinasi dan bekerja-sama dengan
berbagai pihak lain yang berkepentingan untuk kegiatan statistik dalam hal
perancangan instrumen, pengambilan sampel, pengumpulan data, validasi data
termasuk diseminasi dan penggunaan data agar perstatistikan berjalan baik,
lancar dan sukses, Kerjasama itu seperti antara BPS dengan Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (BAPPENAS) dalam hal mendapatkan informasi terkait
statistik modal sosial yang terdapat dalam masyarakat secara nasional maupun
per-propinsi. Perwujudan statistik modal sosial ini nyata dalam publikasi/buku Statistik Modal Sosial Tahun 2014 yang
memberikan informasi besaran modal sosial dalam masyarakat Indonesia dalam 3
(tiga) kelompok indikator, yaitu: 1) Sikap percaya dan toleransi, 2)
Partisipasi dalm kelompok dan jejaring lokal, 3) Resiprositas dan aksi bersama.
Berikut tentang data/informasi
modal sosial yang diberikan dalam buku ini, datanya diperoleh dari pengumpulan
data model survey, kesimpulan yang dibuat mengenai keadaan modal sosial umumnya
diharapkan berlaku untuk keadaan itu secara keseluruhan dan bukan hanya untuk
sebagian saja, hal ini akan dijelaskan pada bab-bab berikutnya
Menurut Sudjana (1984) disinyalir bahwa totalitas semua nilai yang mungkin,
hasil menghitung ataupun pengukuran kuantitatif maupun kualitatif dari pada
karakteristik tertentu mengenai sekumpulan objek yang jelas dan lengkap yang
ingin dipelajari sifat-sifatnya adalah populasi. Adapun sebagian yang diambil dari
populasi adalah sebagai sampel. Mendapatkan kebenaran data atau validasi
(kebenaran hakiki) data adalah mutlak untuk sebuah analisis penyusunan program
sebab mengingat begitu krusialnya dampak yang bisa ditimbulkan baik dari segi
beban cost (biaya) maupun manfaat
yang bisa diterima publik (khalayak ramai).
Jika dipaparkan banyaknya
rumah tangga di Sulawesi Utara mempunyai persentase tertinggi untuk sikap
percaya terhadap tokoh agama (96,14 persen) dan sikap percaya terhadap aparatur
desa (89,66 persen), maka pernyataan ini berlaku umum untuk semua
kabupaten/kota yang ada di propinsi Sulawesi Utara, bukan sebagian masyarakat
di sebagian kabupaten/kota saja.
Jika ditunjukkan persentase
rumah tangga di Indonesia yang percaya terhadap tokoh di lingkungan desa
mencapai angka 80 persen, maka angka yang disajikan merupakan persentase rumah
tangga yang mempunyai sikap ‘percaya’ atau ‘sangat percaya’ terhadap tokoh di
lingkungan desa di semua propinsi, bukan sebagian dari propinsi saja.
1.2.
Pengertian Modal Sosial dan Bagian-bagiannya
Modal sosial adalah bagian-bagian
dari organisasi sosial seperti kepercayaan, norma, dan jejaring yang dapat meningkatkan
efisiensi dan efektivitas masyarakat dengan memfasilitasi tindakan-tindakan
yang terkoordinasi. Modal sosial juga didefinisikan sebagai kapabilitas
yang muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian
tertentu dari masyarakat tersebut. Selain itu, konsep ini juga diartikan
sebagai serangkaian nilai atau norma informal yang dimiliki bersama di antara
para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama.
Sebenarnya konsep yang mendasari modal sosial
sudah lama ada. Para filsuf yang menekankan hubungan antara kehidupan
masyarakat yang pluralistik dan demokrasi termasuk James Madison dan banyak penulis lainnya dalam tradisi pluralis
yang dominan dalam ilmu politik Amerika.
Istilah modal sosial pertama kali
muncul pada tulisan L.J Hanifan (1916) dalam konteks
peningkatan kondisi hidup masyarakat melalui keterlibatan masyarakat, niat baik
serta atribut-atribut sosial lain dalam bertetangga. Dalam karya tersebut,
muncul ciri utama dari modal sosial yakni membawa manfaat internal dan
eksternal. Setelah karya Hanifan, The
Rural School of Community Center, istilah modal sosial tidak muncul
dalam literatur ilmiah selama beberapa dekade. Baru pada tahun 1956, sekelompok
ahli sosiologi perkotaan Kanada
menggunakannya dan diperkuat dengan kemunculan teori pertukaran, George C.Homans pada tahun 1961. Pada era ini,
istilah modal sosial muncul pada pembahasan mengenai ikatan-ikatan komunitas.
Penelitian yang dilakukan James S. Coleman (1988) di bidang pendidikan dan Robert Putnam (1993) mengenai
partisipasi dan performa/kinerja institusi telah menginspirasi banyak kajian
mengenai modal sosial saat ini.
Modal Sosial,
menurut Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi, OECD (Organization for
Economic Co-operation and Development)
mengacu pada lembaga, hubungan, dan norma-norma yang membentuk kualitas
dan kuantitas interaksi sosial suatu masyarakat. Kohesi (keterikatan) sosial
sangat penting bagi masyarakat untuk mencapai kesejahteraan ekonomi dan
pembangunan berkelanjutan. Modal sosial tidak sekedar jumlah institusi yang
mendukung masyarakat, namun modal sosial merupakan perekat diantara mereka.
Modal Sosial,
menurut World Bank (Bank Dunia) adalah jaringan bersama
dengan norma, nilai dan pemahaman yang memfasilitasi kerja sama diantara atau
antar kelompok.
Beberapa contoh dari modal sosial
antara lain adalah POMG (Persatuan Orang tua Murid dan Guru), kepramukaan,
dewan sekolah, liga bowling, jaringan internet. Semua kelompok ini dapat
menolong atau membangun masyarakat karena mereka menjembatani atau mengikat
perilaku. Bila jumlah interaksi manusia meningkat, orang akan lebih mungkin
untuk saling menolong dan kemudian menjadi lebih terlibat secara politik.
Baru-baru ini muncul banyak diskusi
tentang komunitas surat elektronik (email) dan
online situs internet dan apakah mereka menolong membangun modal sosial.
Sebagian orang berpendapat bahwa mereka memang menjembatani orang tetapi tidak
mengikatnya. Perdebatan menarik lainnya di antara para ilmuwan politik
berkaitan dengan surat elektronik apakah menghasilkan atau mengurangi modal
sosial di lingkungan tempat kerja.
Modal sosial memiliki bagian bagian
seperti kepercayaan, norma, dan jejaring. Secara umum, Pengertian
Norma adalah aturan-aturan atau pedoman sosial yang khusus
mengenai tingkah laku, sikap, dan perbuatan yang boleh dilakukan dan tidak
boleh dilakukan di lingkungan kehidupannya.
Berikut ini beberapa Pengertian
Norma Menurut para Ahli:
· Norma Menurut Bagja Waluya: Norma adalah wujud konkret
dari nilai yang merupakan pedoman, yaitu berisikan suatu keharusan bagi
individu atau masyarakat dalam berperilaku
·
Norma
Menurut John J. Macionis: Aturan-aturan
dan harapan harapan masyarakat yang memandu perilaku anggota-anggotanya.
·
Norma
Menurut Craig Calhoun: Aturan
atau pedoman yang menyatakan tentang bagaimana seseorang seharusnya bertindak
dalam situasi tertentu.
· Norma
Menurut Isworo Hadi Wiyono: Norma adalah peraturan atau petunjuk hidup yang
memberi ancar-ancar perbuatan mana yang boleh dijalankan dan perbuatan mana
yang harus dihindari.
·
Norma
Menurut Soerjono Soekanto: Norma
adalah suatu perangkat agar hubungan di dalam suatu masyarakat terlaksana
sebagaimana yang diharapkan. Norma-norma mengalami proses pelembagaan atau
melewati suatu norma kemasyarakatan yang baru untuk menjadi bagian dari salah
satu lembaga masyarakat sehingga norma tersebut dikenal, diakui, dihargai, dan
kemudian ditaati dalam kehidupan sehari-hari
· Norma Menurut Isworo Hadi
Wiyono: Norma
adalah peraturan atau petunjuk hidup yang memberi ancar-ancar perbuatan mana
yang boleh dijalankan dan perbuatan mana yang harus dihindari. Norma bertujuan
untuk mewujudkan ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat.
· Norma
Menurut AA Nurdiaman: Norma adalah suatu tatanan hidup yang berupa
aturan - aturan dalam pergaulan hidup pada masyarakat.
· Norma
Menurut Giddens: Prinsip atau aturan yang konkret , yang
seharusnya diperhatikan oleh masyarakat`
Norma bertujuan untuk mewujudkan
ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat.
Jejaring juga adalah
bagian dari modal sosial, Jejaring adalah pola hubungan dan juga pola sumber daya
yang dibawa ke arah hubungan oleh peserta perkumpulan/organisasi. Jejaring
dapat dilihat pada tingkatan yang berbeda seperti jaringan individual, jaringan
sub kelompok atau kelompok yang berbeda sebagai sebuah sistem yang terstruktur.
BAB II
BUTIR-BUTIR PENGHAYATAN DAN PENGAMALAN PANCASILA SEBAGAI NILAI BUDAYA
DASAR
FAKTOR PEMBENTUKAN MODAL
SOSIAL
Ketika sebuah masyarakat melakukan
aktivitas bernegara, maka harus ada persamaan fikir dan sikap masyarakat pada
negara tersebut. Setiap individu harus meletakkan setiap ego-nya pada prinsip
yang telah disepakati bersama dan menjunjung tinggi prinsip dasar tersebut demi
terciptanya rasa aman bermasyarakat dan tercapainya tujuan bernegara yaitu
terciptanya keadilan dan kemakmuran bagi semua.
Prinsip
dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Pancasila yang mengakomodir dan seharusnya juga bersifat
menganjurkan sebagai pandangan hidup semua orang/lembaga yang mengaku Bangsa
Indonesia, dan menjadi sifat dasar bagi semua rakyat Indonesia dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan mengamalkan butir butir
Pancasila.
Dalam
lima sila Pancasila mengandung 45 butir-butir penghayatan dan pengamalan untuk
memudahkan tercapainya tujuan masyarakat berbangsa dan bernegara. Dari 45
butir butir Penghayatan dan Pengamalan Pancasila yang baru yang sesuai
dengan Tap MPR No. I / MPR / 2003, ada 30 butir pengamalan pancasila yang
sesuai sebagai nilai budaya dasar faktor pembentukan modal sosial yang dapat
memperkuat tali persatuan bangsa dan negara. Ketiga puluh butir pancasila
tersebut terdiri dari: 2 butir dari sila ke-1 Ke-Tuhanan Yang Maha Esa, 10
butir dari sila ke-2 Kemanusiaan yang adil dan beradab, 4 butir dari sila ke-3
Persatuan Indonesia, 10 butir dari sila ke-4 Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, dan 4 butir dari sila
ke-5 Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
·
2 (dua)
Butir dari sila ke-1 KeTuhanan yang Maha Esa, adalah sebagai berikut:
Buitr ke-3: Mengembangkan sikap
hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut
kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Butir ke-4: Membina kerukunan hidup
di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
·
10 (sepuluh)
butir dari sila ke-2 Kemanusiaan yang adil dan beradab, adalah sebagai berikut:
1.
Mengakui
dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa.
2.
Mengakui
persamaan derajat, persamaan hak, dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa
membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan
sosial, warna kulit dan sebagainya.
3.
Mengembangkan
sikap saling mencintai sesama manusia.
4.
Mengembangkan
sikap saling tenggang rasa dan tepa selira.
5.
Mengembangkan
sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
6.
Menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
7.
Gemar
melakukan kegiatan kemanusiaan.
8.
Berani
membela kebenaran dan keadilan.
9.
Bangsa
Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.
10.
Mengembangkan
sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.
·
4 (empat)
Butir dari sila ke-3 Persatuan Indonesia, adalah sebagai berikut:
Butir
ke-1: Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan
bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan
golongan.
Butir
ke-4: Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.
Butir
ke-6: Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.
Butir
ke-7: Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.
·
10 (sepuluh)
butir dari sila ke-4 Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan / perwakilan, adalah sebagai berikut:
1.
Sebagai
warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan,
hak, dan kewajiban yang sama.
2.
Tidak
boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
3.
Mengutamakan
musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
4.
Musyawarah
untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
5.
Menghormati
dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah.
6.
Dengan
iktikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan
musyawarah.
7.
Di
dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan
golongan.
8.
Musyawarah
dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
9.
Keputusan
yang diambil harus dapat dipertanggung-jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang
Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran
dan keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
10.
Memberikan
kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan
pemusyawaratan.
· 4 (empat) Butir dari sila ke-5 Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, adalah sebagai
berikut:
Butir ke-1: Mengembangkan perbuatan yang luhur,
yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
Butir
ke-3: Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Butir
ke-5: Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri.
Butir
ke-11: Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan
berkeadilan sosial.
BAB
III
PERANAN
MODAL SOSIAL DALAM PEMBANGUNAN
Pembangunan yang dilakukan
oleh seluruh negara di dunia bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Kesejahteraan tidak hanya dipandang dari sisi ekonomi namun juga mencakup
kesejahteraan lainnya seperti kebebasan sipil, kebebasan dari tindak kejahatan,
lingkungan hidup yang bersih serta kondisi penduduk yang sehat secara fisik dan
mental (Organization for Economic Co-operation and Development - OECD,
2001).
Kesejahteraan manusia sebagian
besar dapat dilihat dari kesejahteraan ekonomi dimana pendapatan masyarakat
adalah besar dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pengukuran besaran
kesejahteraan rakyat melalui ekonomi, tidak mencakup pengukuran besarnya
aktivitas non ekonomi dari rumah tangga.
Pembangunan
sosial merupakan upaya peningkatan pendidikan dan pemberdayaan
bangsa melalui modal sosial yang
dapat dijelaskan oleh seperangkat strategi kolektif dan terencana guna
meningkatkan kualitas hidup manusia melalui kebijakan sosial yang mencakup
sektor pendidikan, kesehatan, perumahan, ketenaga- kerjaan, jaminan sosial dan
penanggulangan kemiskinan. Pembangunan sosial lebih berorientasi pada
peningkatan kualitas hidup manusia dalam arti luas (Widiowati, 2009).
Kesejahteraan manusia
dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu: (1) modal alam, (2) modal fisik serta (3)
modal manusia dan modal sosial. Modal alam, fisik dan manusia/sosial dikenal
sebagai modal alami pembangunan. Modal sosial erat kaitannya dengan modal
manusia. Modal manusia mewakili pengetahuan, keterampilan dan kesehatan,
sedangkan modal sosial merujuk pada norma dan jejaring yang memfasilitasi
kerjasama antar manusia di dalam / antar kelompok. Modal sosial bersama modal
manusia secara langsung berpengaruh terhadap kesejahteraan manusia.
Modal sosial terbentuk dari
hubungan sosial antar manusia sehingga besaran modal sosial tergantung pada
kapabilitas sosial individu. Sen (1987)
menekankan bahwa “kapabilitas sosial" individu mempunyai peran yang sama
penting dengan modal pembangunan lainnya (OECD, 2001). Kapabilitas (banyaknya
muatan) sosial individu dapat membentuk modal sosial yang bekerja melalui
jejaring sosial seringkali dianggap sebagai perekat yang memungkinkan modal
pembangunan lainnya bekerja secara efektif dan efisien.
3.1. Teori Modal Sosial
Teori
modal sosial pertama kali diperkenalkan secara sistematis oleh Bourdieu pada tahun 1972 dan Coleman pada tahun 1988 (Hauberer, 2011). Definisi mendasar yang
diperkenalkan adalah modal sosial merupakan sumber daya yang melekat dalam
hubungan sosial. Individu yang terlibat
dalam hubungan sosial dapat memanfaatkan sumber daya tersebut untuk kepentingan
pribadi maupun kelompok. Definisi dasar tersebut juga disepakati oleh Putnam, Burt dan Nan Lin, walaupun
masing-masing mempunyai perspektif yang agak berbeda (Hauberer, 2011).
Modal sosial dari struktur
sosial adalah sebagai aspek yang memfasilitasi tindakan individu dalam struktur
sosial tersebut (Coleman, 1990).
Sementara Putnam (1995) mengaitkan
modal sosial dengan penguatan demokrasi dan ekonomi masyarakat melalui jejaring
keterlibatan sipil yang memfasilitasi terciptanya kepercayaan dan norma resiprositas (memberi dan menerima).
Kerangka teori modal sosial
yang paling lengkap diajukan oleh Nan
Lin (1999). Lin menjelaskan adanya ketidaksetaraan individu dalam mengakses
modal sosial yang disebabkan karena perbedaan aset bersama dan posisi individu
dalam struktur sosial. Ketidaksetaraan tersebut dapat mempengaruhi peluang
individu untuk membangun dan memelihara modal sosial. Aset bersama mencakup
partisipasi ekonomi, teknologi, sosial, politik dan budaya. Termasuk pula sikap
percaya, nilai-nilai, dan norma yang dipedomani sebagai acuan bersikap,
bertindak dan bertingkah laku dalam suatu hubungan sosial yang berlaku secara
umum dalam suatu komunitas.
Selanjutnya, pembentukan modal
sosial tergantung pada besarnya akses terhadap sumber daya yang ditentukan oleh
lokasi jejaring dan sumber daya sosial yang dapat dimobilisasi. Dengan
demikian, semakin baik akses individu terhadap modal sosial, semakin banyak
sumber daya melekat yang dapat dimanfaatkan. Selain itu, pembentukan modal
sosial juga membutuhkan investasi modal sosial yang dapat dilakukan dengan
menjalin hubungan sosial yang baru dan memelihara hubungan sosial yang telah
terbentuk melalui dua 2 (dua) jenis tindakan, yaitu: tindakan instrumental dan
tindakan ekspresif.
Tindakan
instrumental merupakan usaha individu untuk menjalin
hubungan sosial dengan tujuan memperoleh manfaat dari sumber daya yang tidak
dimiliki individu.
Tindakan
ekspresif merupakan upaya individu untuk mempertahankan sumber daya yang
telah dimiliki (Lin 1986, 1990).
Modal sosial, pada akhirnya, diharapkan dapat
meningkatkan kesejahteraan manusia. Dampak modal sosial dapat dikelompokkan
berdasarkan jenis tindakan investasi modal sosial yang dilakukan, yaitu dampak
instrumental seperti kekayaan, otoritas, reputasi, dan dampak ekspresif seperti
kesehatan fisik dan mental serta kepuasan hidup.
3.2. Cakupan dan Tipologi Modal Sosial
Perbedaan
definisi modal sosial seringkali disebabkan karena cakupan dan tipologi modal
sosial yang dibahas memang berbeda. Analisis modal sosial dapat dilihat dari
dua sisi yaitu 1) tingkatan analisis yang digunakan dan 2) manifestasi modal
sosial yang diteliti. Point pertama, memandang modal sosial dari level mikro, meso dan makro. Point kedua, memperluas jangkauan modal sosial dari
manifestasi struktural ke kognitif.
Level mikro meliputi individu, rumah tangga, ataupun masyarakat dalam
komunitas tertentu. Pada level ini, modal sosial tercermin dari hubungan
horisontal. Interaksi yang terjadi dalam jaringan sosial pada komunitas
tertentu akan menjamin kepatuhan terhadap norma dan nilai serta resiprositas antar manusia. Jejaring
sosial yang terbentuk akan menciptakan eksternalitas yang tidak hanya mampu
memberi hasil positif tetapi juga dampak negatif bagi komunitas secara
keseluruhan (Putnam 1993).
Modal sosial pada level meso memandang modal sosial secara lebih
luas yang tidak hanya melibatkan hubungan horisontal namun juga mencakup
hubungan vertikal di dalam kelompok maupun antar kelompok. Hubungan vertikal
dilakukan terhadap pemilik otoritas/kekuasaan yang lebih tinggi sebagai akibat
dari struktur sosial dalam kelompok. Pandangan ini sesuai dengan definisi modal
sosial yang diperkenalkan oleh Coleman
(1990).
Pada level makro, modal sosial mencakup hubungan
sosial yang sangat luas meliputi lingkungan sosial dan politik yang membentuk
struktur sosial dan memungkinkan norma untuk berkembang. Modal sosial dipandang
sebagai pembentuk utama hubungan antar institusi formal (pemerintah maupun non
pemerintah) dan tata kelola pemerintahan yang dianut (politik, hukum,
peradilan, kebebasan politik dan sipil).
Perbedaan manifestasi modal
sosial dapat dilihat dari variabel yang digunakan untuk membangun besaran modal
sosial. Modal sosial struktural mengacu pada wujud yang lebih mudah terlihat
dan lebih nyata seperti institusi lokal, organisasi, dan jaringan antar orang,
berdasarkan kondisi budaya, sosial, ekonomi, politik, atau tujuan lain. Modal
sosial kognitif mengacu pada wujud yang lebih abstrak seperti kepercayaan,
norma, dan nilai-nilai, yang mengatur interaksi antar orang. Jika pengukuran
kelompok/organisasi dapat diamati secara langsung berdasarkan ukuran
keanggotaannya, intensitas pertemuan dan kegiatan, maka norma-norma dan
kepercayaan harus diperhatikan secara tidak langsung, melalui persepsi masyarakat
yang bertindak berdasarkan kepatuhan terhadap norma-norma tersebut.
Modal sosial yang ada dalam
masyarakat menggambarkan proses interaksi
sosial dalam hal akses terhadap jejaring sosial dan partisipasi di dalam
kelompok (Woolcock dan Narayan, 2000).
Interaksi sosial merupakan
suatu hubungan sosial dan interaksi antara satu individu dengan individu
lainnya, dimana kelakuan individu mempengaruhi individu lain begitupun
sebaliknya (Bonner dalam Ali, 2004).
Bentuk proses interaksi sosial dalam mengakses sumber daya dapat dibedakan
menjadi tipologi modal sosial yaitu bonding, bridging dan linking.
Tipologi modal sosial menggambarkan karakteristik interaksi sosial masyarakat
yang berbeda-beda.
Modal sosial suatu masyarakat
dikatakan sebagai bonding ketika
anggota masyarakat saling berserikat dan bekerja sama membentuk jejaring
diantara mereka yang memiliki kesamaan karakteristik tertentu saja, misalnya:
kesamaan suku, daerah, sesama keluarga, tetangga, sahabat karib, dan rekan
kerja (Narayan 1999).
Sementara, modal sosial
dikatakan bridging ketika
masyarakat yang memiliki kesamaan karakteristik geografis dan kesetaraan
pemilikan otoritas, hak, dan kewajiban, saling berserikat dan bekerja sama
dalam suatu jejaring (Narayan dan
Cassidy 2001).
Tipologi modal sosial yang
ketiga adalah, linking. Modal
sosial dikatakan sebagai linking ketika masyarakat atau kelompok
masyarakat memiliki hubungan jejaring terhadap pihak-pihak lain yang memiliki
otoritas atau kekuasaan yang lebih tinggi misalnya: instansi pemerintah,
institusi pendidikan, institusi pelayanan kesehatan, partai politik,
kepolisian, perbankan, dsb (Woolcock
1998; World Bank 2000).
3.3.
Statistik Modal Sosial di Berbagai Negara
Cakupan
dan tipologi modal sosial yang cukup luas memberikan konsekuensi bahwa modal
sosial tidak mudah untuk dijelaskan dan berapa banyak besaran untuk
menggambarkan modal sosial suatu komunitas. Tercatat beberapa lembaga
internasional, seperti Bank Dunia dan OECD telah melakukan penelitian secara
mendalam terkait pengukuran modal sosial untuk memperoleh satu kerangka pikir
mengenai pengukuran modal sosial yang diharapkan dapat diterapkan oleh semua
negara. Namun sejauh ini, definisi OECD adalah yang paling banyak digunakan
oleh berbagai negara di dunia, seperti Inggris, Australia dan Kanada sebagai
acuan dalam membangun besaran modal sosial.
Inggris
menggambarkan modal sosial menggunakan lima besaran utama yaitu: (1) Partisipasi
Sosial; (2) jejaring sosial dan
dukungan sosial; (3) resiprositas dan sikap percaya; (4) partisipasi sipil; dan
(5) pandangan positif terhadap lingkungan sekitar.
Australia
hanya menggunakan pendekatan empat besaran pertama untuk menggambarkan modal
sosial. Sementara, Kanada, walaupun mengadopsi definisi modal sosial dari OECD
namun menggunakan kerangka kerja yang dibangun oleh ONS. Terdapat lima
pendekatan besaran yang digunakan, yaitu: (1) partisipasi sosial, keterikatan
sosial dan komitmen sosial; (2) tingkat pemberdayaan; (3) persepsi komunitas;
(4) jejaring sosial, dukungan sosial dan interaksi sosial; (5) sikap percaya,
resiprositas dan kohesi sosial.
Perbedaan
instrumen dan definisi variabel yang digunakan dalam menggambarkan modal sosial
oleh masing-masing negara menyebabkan besaran yang dihasilkan belum dapat
diperbandingkan secara internasional. Walaupun demikian, secara umum, Grootaert dan Bastelaar (2002)
merekomendasikan tiga jenis besaran yang dapat digunakan sebagai pendekatan
untuk menggambarkan modal sosial pada level mikro, yaitu besaran :
1.
Sikap
percaya dan kepatuhan terhadap norma yang berlaku
Sikap
percaya dan kepatuhan pada norma merupakan modal sosial kognitif yang
membutuhkan persepsi dan pengalaman penduduk terkait perilaku yang memerlukan
sikap percaya.
2.
Keanggotaan
dalam perkumpulan dan jejaring lokal
Keanggotaan
dalam perkumpulan dan jejaring lokal merupakan besaran modal sosial struktural
yang meliputi banyaknya perkumpulan dan anggotanya, keragaman internal anggota,
dan manajemen perkumpulan seperti pengambilan keputusan yang demokratis.
3.
Aksi
bersama.
Aksi bersama mencakup
berbagai kegiatan yang dilaksanakan oleh sekelompok orang. Besaran ini mengukur
sejauh mana kegiatan bersama tersebut dapat dilakukan dan merupakan dasar dari
kohesi sosial.
BAB IV
KOMPONEN PEMBENTUK
MODAL SOSIAL
SANGAT PENTING BAGI
PEMBANGUNAN
Ada 7 (tujuh)
komponen modal sosial menurut peringkatnya, sebagai berikut:
1. Sikap percaya. Sikap
percaya menjadi komponen utama modal sosial. Ada sebanyak 92.02 % rumah tangga
percaya dan sangat percaya kepada para tokoh agama.
2. Jejaring. Ada
88.42 % rumah tangga aktif dlam kelompok yang diikuti
3. Aksi bersama. Ada
76.33 % rumah tangga selalu dan sering mengikuti kegiatan bersama untuk
membantu warga
4. Toleransi suku. Ada
71.87 % rumah tangga setuju dan sangat setuju anak menikah dengan orang berbeda
suku
5. Toleransi Agama. Ada
70.20 % rumah tangga setuju dan sangat setuju anak bersahabat dengan orang
beragama lain
6. Resiprositas. Ada
61.21 % rumah tangga bersedia dan sangat bersedia membantu tetangga yang
membutuhkan pertolongan keuangan
7. Partisipasi dalam kelompok. Ada
44.76 % rumah tangga selalu dan sering mengikuti pertemuan warga (rapat).
4.1.
SIKAP PERCAYA DAN
TOLERANSI, KEANGGOTAAN DALAM KELOMPOK DAN JEJARING LOKAL SERTA AKSI BERSAMA
DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT.
Rasa
percaya merupakan unsur utama pembentuk modal sosial. Tanpa adanya rasa percaya
antar individu, maka sulit terjadi interaksi sosial apalagi hubungan sosial
yang baik. Model modal sosial yang dikemukakan oleh Nan Lin (1999) memposisikan rasa percaya sebagai salah satu aset
kolektif yang mempengaruhi akses individu terhadap sumber daya di dalam
jaringan. Bahkan, pada konferensi internasional tentang pengukuran modal sosial
yang diselenggarakan oleh OECD di Budapest pada tahun 2003, sikap percaya
disetujui sebagai dimensi kunci dari modal sosial.
Aset
kolektif adalah aset atau fitur kolektif yang tersedia pada semua
anggota kelompok, baik itu kelompok sosial atau masyarakat dan terlepas dari
apakah setiap anggota tersebut memberikan kontribusi di dalamnya. Contoh dari
aset kolektif diantaranya adalah sikap percaya, norma, sanksi, dan lainnya.
Sebagai aset kolektif, modal sosial sangat bergantung pada niat dari anggota.
Sehingga, norma, kepercayaan, sanksi, wewenang dan hal lain menjadi penting
dalam mempertahankan modal sosial (Nan
Lin, 1999).
Rasa percaya antar individu
dalam suatu hubungan sosial dapat dipandang dalam dua sisi yang berbeda, yaitu
sebagai input sekaligus output modal sosial. Grootaert, dkk (2004) menyebutkan rasa percaya merupakan input
modal sosial karena dengan adanya rasa saling percaya antar individu menjadi
landasan terjalinnya interaksi sosial yang mengarah kepada hubungan sosial yang
lebih erat antar anggota masyarakat. Di sisi lain, kuantitas dan kualitas
interaksi sosial seperti lamanya hubungan sosial yang telah terjalin akan meningkatkan
rasa percaya antar individu.
Rasa
percaya merupakan perwujudan dari modal sosial kognitif yang dapat tercermin
dari persepsi sikap percaya individu terhadap anggota komunitas. Pada lingkup mikro seperti masyarakat desa, sikap
percaya tercermin dalam interaksi sosial sehari-hari antar anggota masyarakat yang bersifat vertikal maupun
horisontal. Modal sosial kognitif juga tercermin dari sikap toleransi antar
anggota masyarakat yang tergambar dalam kerukunan hidup bermasyarakat.
4.1.1.
Sikap Percaya Terhadap Tokoh di Lingkungan
Desa
Salah
satu bentuk hubungan sosial yang biasa dilakukan oleh individu sebagai bagian
dari komunitas masyarakat desa adalah hubungan vertikal dengan anggota lainnya
yang memiliki otoritas/kekuasaan yang lebih tinggi di lingkungan desa seperti
aparatur desa, tokoh masyarakat di desa dan sebagainya. Sumber data BPS: Susenas 2014 memuat data terkait
persepsi sikap percaya rumah tangga terhadap tokoh di lingkungan desa seperti
aparatur desa/kelurahan, tokoh masyarakat, dan tokoh agama. Persepsi sikap
percaya terhadap tokoh masyarakat menggambarkan besaran modal sosial kognitif
suatu rumah tangga dengan pihak yang dianggap berpengaruh atau memiliki
otoritas.
Secara umum, masyarakat
Indonesia mempunyai sikap percaya yang tinggi terhadap tokoh di lingkungan
desa, seperti aparatur desa/kelurahan, tokoh masyarakat maupun tokoh agama,
namun dari tahun 2012 ke 2014 masyarakat tidak mampu menaikkan capaian sikap
percaya mereka terhadap para tokoh, baik terhadap tokoh agama, tokoh masyarakat
maupun aparat desa. Gambar 3.1
menunjukkan persentase rumah tangga yang mempunyai sikap ‘percaya’ atau ‘sangat
percaya’ terhadap tokoh di lingkungan desa mencapai angka di atas 80 persen.
Gambar 3.1. Persentase
Rumah Tangga yang Percaya/Sangat Percaya Terhadap Tokoh di Lingkungan
Desa/Kelurahan, Tahun 2012 dan 2014.
Sikap percaya rumah tangga
terhadap tokoh di lingkungan desa pada Tabel
1 memperlihatkan persentase rumah tangga yang mempunyai sikap percaya terhadap tokoh agama
secara nasional mencapai 92,02 persen. Angka ini merupakan persentase tertinggi
dibandingkan sikap percaya terhadap tokoh masyarakat yang mencapai 88,17 persen
ataupun aparatur desa yang mencapai 81,73 persen. Hasil ini menunjukkan
masyarakat pedesaan lebih percaya kepada tokoh agama dan tokoh masyarakat daripada
aparatur desa/kelurahan.
Terlihat
pula bahwa rumah tangga di Sulawesi dan Nusa Tenggara mempunyai persentase
tertinggi untuk sikap percaya terhadap tokoh agama (93,72%), terhadap tokoh
masyarakat (90,71%) dan sikap percaya terhadap aparatur desa (84,73%) dibanding
wilayah lainnya. Sementara, Kepulauan Maluku dan Papua mempunyai persentase
terendah untuk sikap percaya kepada tokoh agama (90,23%), terhadap tokoh
masyarakat (82,84%) dan terhadap aparatur desa (67,69%).
Tabel 1. Persentase Rumah Tangga yang Percaya/Sangat
Percaya Terhadap Tokoh di Lingkungan Desa/Kelurahan Menurut Provinsi, Tahun
2014.
4.1.2
Sikap Percaya Terhadap Tetangga
Hubungan
horisontal merupakan salah satu bentuk hubungan sosial sehari-hari yang
dilakukan antar anggota masyarakat desa yang mempunyai posisi yang setara dalam
struktur sosial, contohnya hubungan antar tetangga. Data yang disajikan memuat
data terkait sikap percaya rumah tangga terhadap tetangga dalam hal: (1)
percaya menitipkan rumah pada tetangga ketika semua anggota rumah tangga (ART)
bepergian/menginap di tempat lain dan (2) percaya menitipkan anak (umur 1-12
tahun) pada tetangga jika tidak satupun ART dewasa ada di rumah.
Gambar 3.2. Persentase
Rumah Tangga yang Percaya/Sangat Percaya Menitipkan Rumah Atau Anak Umur 1-12
Tahun Kepada Tetangga, Tahun 2012 dan 2014
Gambar
3.2.
menyajikan persentase rumah tangga yang menyatakan ‘percaya’ atau ‘sangat
percaya’ terhadap tetangga dalam hal menitipkan rumah atau menitipkan anak.
Angka yang disajikan pada gambar tersebut merupakan persentase rumah tangga
yang percaya untuk menitipkan rumah ataupun menitipkan anak kepada tetangga,
tidak mampu menaikkan capaian dari tahun 2012 ke tahun 2014.
Sikap percaya kepada tetangga
dalam hal menitipkan rumah maupun menitipkan anak pada tetangga memiliki
variasi antar wilayah, hasil ini menunjukkan kepercayaan antar anggota
masyarakat sangat beragam yang mungkin dipengaruhi oleh faktor budaya atau
sosial di daerah masing-masing.
Dari Tabel 2. terlihat, bahwa wilayah Sulawesi dan Nusa Tenggara
memiliki persentase lebih tinggi dari angka nasional untuk rumah tangga yang
memiliki sikap percaya menitipkan rumah kepada tetangga dan sikap percaya
menitipkan anak kepada tetangga. Hal ini
menunjukkan bahwa wilayah Sulawesi dan Nusa Tenggara tersebut mempunyai modal sosial kognitif yang dapat diandalkan
untuk memberikan kesejahteraan bersama.
Sementara wilayah Sumatera
mempunyai persentase lebih rendah di bawah angka nasional untuk sikap percya
menitipkan rumah kepada tetangga, dan wilayah Jawa dan Bali mempunyai
persentase lebih rendah di bawah angka nasional untuk sikap percya menitipkan
anak (usia 1-12 tahun) kepada tetangga. Hasil ini menunjukkan masyarakat masih
berhati-hati untuk menitipkan anak atau rumah kepada tetangga.
Tabel 2. Persentase Rumah Tangga yang Percaya/Sangat
Percaya Terhadap Tetangga Menurut Lima Kelompok Wilayah Tahun2014
4.1.3. Toleransi
Toleransi juga merupakan salah
satu perwujudan modal sosial kognitif yang dipahami sebagai sikap mau menerima
dan menghargai perbedaan di antara anggota masyarakat. Toleransi antar anggota
masyarakat dapat menjamin hak setiap individu untuk bebas dan bertanggung jawab
dalam melakukan kegiatan apapun dengan tidak melanggar nilai-nilai yang berlaku
di komunitas dan hak-hak orang lain. Toleransi dalam kehidupan masyarakat
sehari-hari dapat terlihat dari sikap toleran terhadap persahabatan antar suku
bangsa dan agama maupun kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok orang dari
agama atau suku bangsa lain.
Gambar 3.3 menunjukkan persentase rumah
tangga yang menyatakan setuju atau sangat setuju jika anak bersahabat atau
menikah dengan orang yang berbeda suku bangsa atau berbeda agama. Terlihat
jelas bahwa rumah tangga yang setuju anaknya bersahabat dengan suku bangsa lain
mempunyai persentase lebih tinggi (90,21%) dibandingkan dengan agama lain
(70,21%). Dari angka tersebut dapat dikatakan masyarakat Indonesia memiliki
sikap toleran untuk bersahabat dengan suku ataupun agama lain.
Gambar 3.3 juga memperlihatkan rumah
tangga yang menyetujui anaknya menikah dengan agama lain mempunyai persentase
yang sangat rendah (7,9%). Sedangkan rumah tangga yang menyetujui anaknya
menikah dengan suku lain mempunyai persentase yang cukup tinggi (71,88%). Sikap
menentang pernikahan berbeda agama tersebut didasari atas sikap religi bangsa
yang cukup kuat, dimana nilai agama yang dianut oleh Bangsa Indonesia memiliki
norma yang mengatur untuk tidak menikah dengan orang yang berbeda iman.
Gambar 3.3. Persentase
Rumah Tangga yang Setuju/Sangat Setuju Jika Anak Bersahabat Atau Menikah dengan
Suku Bangsa Lain Atau Agama Lain, Tahun 2014
Sikap
toleran dalam kehidupan rumah tangga sehari-hari juga dapat terlihat dari
persepsi terkait kegiatan di lingkungan tempat tinggal yang diselenggarakan
oleh sekelompok orang yang berbeda suku bangsa maupun berbeda agama. Gambar 3.4. menunjukkan bahwa persentase
rumah tangga yang setuju/sangat setuju dengan kegiatan yang dilakukan oleh suku
bangsa lain (67,70%) lebih tinggi daripada kegiatan yang dilakukan oleh agama
lain (42,81%). Ini menunjukkan bahwa
kegiatan oleh sekelompok suku bangsa yang berbeda lebih dapat diterima oleh
masyarakat daripada kegiatan oleh agama yang berbeda, namun tidak mampu
menaikkan capaian angka dari tahun 2012 ke 2014.
Gambar 3.4. Persentase Rumah Tangga yang Menyatakan
Setuju/Sangat Setuju Terhadap Kegiatan oleh Suku Bangsa Atau Agama Lain, Tahun
2012 dan 2014.
Jika
dilihat menurut wilayah, sikap toleransi rumah tangga cukup bervariasi antar
provinsi. Sikap toleransi terhadap kegiatan yang dilakukan oleh suku bangsa
lain mempunyai variasi yang lebih rendah dengan selisih antara persentase
tertinggi dan terendah sekitar 33 persen, sementara sikap toleransi terhadap
kegiatan dari agama lain mempunyai selisih mencapai 69 persen. Keberagaman
tingkat toleransi antar agama dalam masyarakat dapat dipengaruhi oleh (1)
atmosfir positif di lingkungan masyarakat, (2) pendidikan budaya dan (3)
kemampuan empati atau intelegensi sosial atau kepekaan sosial (Allport, 1954).
Pada
Tabel 3. terlihat wilayah Kalimantan
mempunyai persentase rumah tangga dengan nilai tertinggi untuk sikap setuju
terhadap kegiatan oleh suku bangsa lain (80,06%) dan Kepulauan Maluku dan Papua
untuk sikap setuju terhadap kegiatan oleh agama lain (59.48%). Selain itu,
wilayah Jawa dan Bali mempunyai persentase rumah tangga terendah untuk sikap
setuju terhadap kegiatan dari suku bangsa lain (63.75%) dan wilayah Sumatera
memiliki persentase rumah tangga terendah untuk sikap setuju terhadap kegiatan
dari agama lain (38.01 persen).
Tabel 3. Persentase
Rumah Tangga yang Setuju/Sangat Setuju Terhadap Kegiatan oleh Suku Bangsa Lain
dan Agama Lain di Lingkungan Tempat Tinggal Menurut Lima Kelompok Wilayah,
Tahun 2014
4.2.
KELOMPOK DAN JEJARING SOSIAL
Peluang untuk memanfaatkan
modal sosial dapat ditingkatkan dengan menjalin hubungan sosial sebanyak
mungkin. Lin (2001) menyebutnya
sebagai investasi modal sosial. Investasi modal sosial yang dilakukan sejak
dini akan memperluas dan memperkuat jejaring sosial yang dimiliki. Manfaat
hubungan sosial mungkin tidak secara langsung dirasakan karena kualitas
hubungan sosial yang terbentuk juga menentukan besaran manfaat yang dapat
diperoleh. Oleh karena itu, investasi modal sosial termasuk pula memelihara
hubungan antar pribadi dengan interaksi sosial yang baik berdasarkan norma dan
nilai-nilai kepercayaan yang berlaku dalam masyarakat.
Untuk memperoleh manfaat modal
sosial, setiap individu harus memelihara dan memperluas jejaring sosial.
Keduanya dapat dilakukan dengan menjadi bagian dalam kelompok sosial dan aktif
berpartisipasi dalam berbagai kegiatan. Semakin besar dan banyak jejaring
sosial yang terbentuk, semakin terbuka kesempatan seseorang untuk mengakses dan
memanfaatkan modal sosial yang ada dalam jejaring.
4.2.1.
Partisipasi Dalam Pertemuan Warga di Lingkungan Tempat Tinggal
Setiap
individu pasti menjadi bagian dari komunitas di lingkungan tempat tinggalnya,
namun besarnya manfaat modal sosial yang dapat diperoleh tergantung pada
keeratan hubungan sosial mereka dengan lainnya. Partisipasi dalam berbagai
kegiatan warga setempat merupakan salah satu cara untuk melakukan investasi
modal sosial. Contohnya menghadiri pertemuan warga, aktif dalam pengambilan
keputusan dan sebagainya. Informasi terkait hal tersebut telah tersedia pada
data Susenas Modul Ketahanan Sosial 2014 untuk mengumpulkan informasi terkait
modal sosial yang antara lain meliputi partisipasi rumah tangga dalam pertemuan
warga di lingkungan tempat tinggal.
Gambar
4.1. Persentase Rumah Tangga Menurut Keberadaan Pertemuan Warga, Tahun 2014
Lingkungan
tempat tinggal yang mengadakan pertemuan warga masih cukup banyak. Lebih dari
separuh rumah tangga (59,13%) menyatakan di lingkungannya masih terdapat
pertemuan warga berupa rapat, baik yang dilakukan secara rutin sekali dalam
seminggu, sekali dalam sebulan maupun sekali dalam beberapa bulan (lihat Gambar 4.1). Sementara, sekitar 19,28
persen rumah tangga menyatakan tidak ada pertemuan warga di lingkungan tempat
tinggalnya, dan 21,59 persen rumah tangga menyatakan tidak tahu mengenai ada
tidaknya pertemuan warga tersebut. Kondisi serupa juga terjadi baik di wilayah
perkotaan maupun di perdesaan.
Gambar 4.2 menyajikan persentase rumah
tangga menurut tingkat partisipasi mengikuti pertemuan warga di lingkungan tempat
tinggal dalam setahun terakhir. Angka yang disajikan tidak termasuk sekitar 40
persen rumah tangga yang menyatakan tidak tahu/tidak ada pertemuan warga di
lingkungan tempat tinggalnya. Terlihat bahwa tingkat partisipasi masyarakat
dalam pertemuan warga masih cukup tinggi. Lebih dari separuh rumah tangga
(84,96%) masih mau berpartisipasi dalam pertemuan warga di lingkungan tempat
tinggalnya, walaupun mayoritas rumah tangga berpartisipasi dengan intensitas
jarang (40,21%). Hal serupa juga terjadi di wilayah perkotaan maupun di
pedesaan dengan persentase yang tidak jauh berbeda.
Tingkat
partisipasi rumah tangga dalam pertemuan warga bervariasi antar wilayah, Gambar 4.3. menyajikan persentase rumah
tangga menurut lima kelompok wilayah dan partisipasi dalam pertemuan warga di
lingkungan tempat tinggal dalam setahun terakhir. Terdapat wilayah Kepulauan
Maluku dan Papua yang mempunyai tingkat partisipasi tertinggi (86,82%),
sementara wilayah yang mempunyai tingkat partisipasi terendah adalah wilayah
Sumatera (82,38%).
Gambar 4.2. Persentase
Rumah Tangga Menurut Tingkat Partisipasi Mengikuti Pertemuan Warga di
Lingkungan Tempat Tinggal Dalam Setahun Terakhir, Tahun 2014
Gambar 4.3. Persentase
Rumah Tangga Menurut Lima Kelompok Wilayah dan Partisipasi Dalam Pertemuan
Warga di Lingkungan Tempat Tinggal Dalam Setahun Terakhir, Tahun 2014
Cara pengambilan keputusan
yang sering dilakukan oleh masyarakat di lingkungan tempat tinggal dapat
berbeda-beda sesuai dengan norma dan nilai –nilai yang berlaku. Data
menunjukkan sekitar 52,34 persen rumah tangga menyatakan musyawarah sebagai
cara pengambilan keputusan yang sering dilakukan di lingkungan tempat
tinggalnya (Gambar 4.4.). Namun
masih terdapat 36,15 persen rumah tangga yang menyatakan tidak mengetahui cara
pengambilan keputusan yang sering dilakukan di lingkungan tempat tinggalnya.
Hal ini mungkin menunjukkan bahwa rumah tangga tersebut kurang menaruh
perhatian pada permasalahan yang ada di lingkungan tempat tinggalnya.
Gambar 4.4. Persentase Rumah Tangga Menurut Cara
Pengambilan Keputusan di Lingkungan Tempat Tinggal, Tahun 2014
4.2.2.
Keanggotaan dalam Kelompok atau Organisasi di
Lingkungan Tempat Tinggal
Investasi
modal sosial juga dapat dilakukan dengan memperluas jejaring sosial, biasanya
ini dilakukan dengan menjadi anggota kelompok atau organisasi yang ada di
lingkungan tempat tinggal. Hasil Susenas 2014 menunjukkan terdapat sekitar
71,14 persen rumah tangga tidak ikut serta menjadi anggota kelompok ataupun
organisasi di lingkungan tempat tinggalnya (Gambar
4.5.). Angka tersebut menunjukkan kemauan rumah tangga untuk menjadi bagian
dari sebuah kelompok atau organisasi dalam lingkungan tempat tinggal relatif
masih rendah.
Gambar 4.5. Persentase
Rumah Tangga Menurut Keikutsertaan dalam Kelompok/Organisasi di Lingkungan
Tempat Tinggal, Tahun 2012 dan 2014
Keikut-sertaan rumah tangga
dalam kegiatan kelompok atau organisasi mempunyai variasi yang cukup besar
antar wilayah. Dari Gambar 4.6.
terlihat wilayah Kepulauan Maluku dan Papua mempunyai persentase rumah tangga
dengan keikutsertaan yang relatif tinggi (88,33%). Dari gambar yang paling
rendah berada di wilayah Jawa dan Bali, 61,38 persen rumah tangga di Jawa dan
Bali yang ikut serta dalam kegiatan organisasi atau kelompok di lingkungan
tempat tinggal.
Gambar 4.6. Persentase
Rumah Tangga Menurut Lima Kelompok Wilayah dan Keikutsertaan
dalam-Kelompok/Organisasi
di Lingkungan Tempat Tinggal, Tahun 2012
4.3.
RESIPROSITAS
DAN AKSI BERSAMA
Hasbullah (2006) menyatakan bahwa bangsa yang memiliki
modal sosial tinggi cenderung lebih
efisien dan efektif dalam melaksanakan pembangunan untuk menyejahterakan dan
memajukan kehidupan rakyatnya. Modal
sosial dapat meningkatkan kemampuan individu untuk menyelesaikan
kompleksitas permasalahan bersama, mendorong perubahan yang cepat di dalam
masyarakat, menumbuhkan kesadaran kolektif untuk memperbaiki kualitas hidup,
dan mencari peluang yang dapat lebih meningkatkan kesejahteraan. Hal ini
terbangun karena adanya kohesifitas sosial dalam masyarakat yang ditandai
dengan semangat untuk melakukan kebaikan secara ikhlas dan berpartisipasi aktif
dalam rangka mendukung berbagai kegiatan yang
dilaksanakan untuk peningkatan
kesejahteraan rakyat.
Kohesifitas Sosial adalah
karakter suatu masyarakat dalam menghadapi koneksi dan relasi antar unit sosial
seperti individu, grup, asosiasi atau unit teritorial (Mc Cracken, 1998).
4.3.1.
Resiprositas
Resiprositas menurut
Jary & Jary (2000) adalah
hubungan antara dua pihak yang saling berbalasan yaitu, memberi dan menerima.
Kekuatan
modal sosial sebagai energi kolektif yang berasal dari masyarakat sendiri
tergantung pada kualitas dan kuantitas hubungan sosial antar individu dalam
masyarakat. Adler dan Kwon dalam Agus Supriono
dkk (2009:4) mengatakan bahwa “dimensi modal sosial merupakan gambaran dari
keterikatan internal yang mewarnai struktur kolektif dan memberikan kohesifitas
dan keuntungan-keuntungan bersama dari proses dinamika yang terjadi dalam
masyarakat”. Sifat kohesif masyarakat yang memiliki hubungan kuat antar unit
sosial (individu maupun kelompok dan organisasi) inilah yang dapat memberikan
berbagai keuntungan bersama dari proses dan dinamika sosial yang terdapat dalam
masyarakat tersebut.
Salah satu bentuk kohesifitas
sosial dalam masyarakat setingkat desa dapat terlihat dari adanya budaya saling
tolong menolong dalam kehidupan bermasyarakat. Walaupun belum tersedia data
yang secara rinci menggambarkan adanya kohesifitas tersebut, data BPS: Susenas telah menyediakan informasi
mengenai persepsi terkait kesediaan rumah tangga untuk membantu tetangga yang
membutuhkan pertolongan keuangan di lingkungan tempat tinggal. Data yang
tersedia membagi persepsi kesediaan rumah tangga dalam empat kategori yaitu:
tidak bersedia, tidak pasti, bersedia dan sangat bersedia. Selain itu terdapat
pula informasi terkait persepsi rumah tangga dalam kemudahan memperoleh
pertolongan keuangan, yang juga dibagi dalam empat kategori, yaitu: sulit,
tidak pasti, mudah dan sangat mudah. Tabulasi silang antara keduanya diharapkan
memberikan gambaran mengenai kohesifitas masyarakat Indonesia.
Data menunjukkan bahwa
sebagian besar rumah tangga bersedia membantu tetangga yang membutuhkan
pertolongan keuangan di lingkungan tempat tinggal (61,21%). Hanya sekitar dua
persen rumah tangga menyatakan tidak bersedia dan 36,57 persen menyatakan tidak
pasti (lihat Gambar 5.1). Demikian
pula dengan rumah tangga yang menyatakan mudah mendapatkan pertolongan juga
relatif tinggi. Namun, angka tersebut mengalami penurunan jika dibandingkan
dengan tahun 2012. Hal ini dimungkinkan karena perbedaan pertanyaan, dimana
tahun 2012, pertolongan mencakup berbagai hal dan tidak dibatasi hanya pada
pertolongan keuangan.
Gambar 5.1. Persentase
Rumah Tangga Menurut Kesediaan Membantu Tetangga dan Kemudahan Memperoleh
Pertolongan Keuangan, Tahun 2012 dan 2014
Analisis
antara persepsi rumah tangga terkait kesediaan membantu tetangga dan kemudahan
memperoleh pertolongan dari tetangga diharapkan dapat memberikan gambaran
mengenai kohesifitas dalam masyarakat Indonesia. Tabel 4. menunjukkan bahwa rumah tangga yang menyatakan bersedia
(56,37%) dan sangat bersedia (45,40%) membantu tetangga mempunyai persentase
lebih tinggi untuk mudah mendapatkan pertolongan dibandingkan dengan rumah
tangga yang tidak bersedia (18,40%) ataupun tidak pasti (17,51%) untuk
memberikan pertolongan. Angka tersebut menunjukkan adanya hubungan resiprositas dalam masyarakat, dimana
rumah tangga yang bersedia membantu tetangga akan mempunyai persepsi bahwa
mereka juga akan mudah memperoleh pertolongan jika dibutuhkan.
Tabel 4. Persentase
Rumah Tangga Menurut Persepsi Kesediaan Membantu Tetangga dan Persepsi
Kemudahan Mendapat Pertolongan Keuangan di Lingkungan Tempat Tinggal, Tahun
2014
Tentunya
akan terdapat banyak hal yang dapat menjadi pertimbangan rumah tangga dalam
menyatakan bersedia maupun tidak bersedia dalam memberikan bantuan. Namun,
keeratan sosial masyarakat dengan lingkungan sekitarnya diduga menjadi faktor
utama yang mempengaruhi persepsi tersebut. Oleh karena itu kohesifitas antar
anggota masyarakat sangat mempengaruhi akses rumah tangga untuk menikmati modal
sosial yang ada dalam komunitas, seperti kemudahan memperoleh pertolongan.
4.3.2.
Aksi Bersama (Gotong Royong)
Bagi
masyarakat Indonesia, aksi bersama lebih dikenal dengan istilah gotongroyong.
Gotong royong biasanya diadakan dalam bentuk kerja bakti untuk membersihkan
saluran air, membangun fasilitas umum, penggalangan dana untuk korban bencana
dan sebagainya
Secara umum, kebiasaan gotong
royong masih terbina di lingkungan masyarakat Indonesia. Berdasarkan data Podes
2014, sebanyak 90,93 persen desa/kelurahan di Indonesia masih mengadakan
kegiatan gotong royong untuk kepentingan umum (BPS, 2014). Angka ini meningkat jika dibandingkan dengan sumber
data yang sama di tahun 2011 dimana hanya sebesar 88,80 persen desa/kelurahan
di Indonesia yang masih mengadakan kegiatan gotong royong (BPS, 2012).
Kunci keberhasilan berbagai
kegiatan aksi bersama tergantung pada partisipasi aktif dari anggota
masyarakat. Dalam Susenas 2014,
partisipasi rumah tangga untuk terlibat dalam berbagai kegiatan yang dilakukan
di lingkungan tempat tinggal dibedakan menjadi partisipasi dalam kegiatan
sosial dan kegiatan bersama. Kegiatan
sosial merupakan suatu bentuk aksi bersama yang dilakukan oleh individu
maupun kelompok dengan tujuan untuk memaksimalkan utilitas mereka (Burt 1982: 3; Ruiz 1998: 17). Dalam hal
ini, kegiatan sosial dibedakan menjadi: (1) keagamaan, seperti: pengajian,
perayaan keagamaan, dan (2) kemasyarakatan, seperti: arisan, olahraga,
kesenian. Sementara, kegiatan bersama
merupakan salah satu wujud dari partisipasi horisontal terhadap prakarsa
anggota masyarakat dalam melakukan kegiatan untuk kepentingan umum maupun dalam
rangka membantu anggota masyarakat yang lain.
Gambar 5.2. Persentase
Rumah Tangga yang Sering/Selalu Berpartisipasi dalam Aksi Bersama di Lingkungan
Tempat Tinggal Menurut Jenis Kegiatan, Tahun 2012 dan 2014
Sebagian besar rumah tangga sering
berpartisipasi dalam berbagai aksi bersama di lingkungan desa. Pada umumnya
tingkat partisipasi tersebut berbeda berdasarkan jenis kegiatan. Persentase
rumah tangga yang sering dan selalu berpartisipasi dalam kegiatan bersama untuk
membantu warga yang terkena musibah mencapai 76,33 persen (Gambar 5.2). Angka ini merupakan persentase paling tinggi
dibandingkan partisipasi rumah tangga pada kegiatan aksi bersama yang lain. Di
banding dengan tahun 2912, di tahun 2014 hanya angka ini yang manpu mengalami
peningkatan, sedangkan persentase rumah tangga pada kegiatan aksi bersama yang
lain mengalami penurunan.
Tabel
5.
menunjukkan wilayah Sulawesi dan Nusa Tenggara mempunyai persentase tertinggi
untuk partisipasi rumah tangga yang sering/selalu membantu warga yang mengalami
musibah yakni sebesar 82,41 persen, dan Kepulauan Maluku dan Papua untuk
partisipasi rumah tangga dalam kegiatan keagamaan yakni sebesar 64,18 persen, dan
kegiatan untuk kepentingan umum (49,76%). Wilayah Jawa dan Bali mempunyai
persentase tertinggi untuk partisipasi rumah tangga dalam kegiatan sosial
kemasyarakatan (34,51%).
Tabel 5. Persentase
Rumah Tangga yang Sering/Selalu Berpartisipasi dalam Aksi Bersama di Lingkungan
Tempat Tinggal Menurut Propinsi, Tahun 2014.
BAB
V
MODAL
SOSIAL DAN KEJAHATAN SOSIAL
Modal sosial yang melekat
dalam hubungan sosial masyarakat sebenarnya merupakan perekat yang dapat
meningkatkan kohesifitas dan kerukunan sosial. Keeratan dalam menjalin hubungan
sosial antar anggota masyarakat diharapkan mampu meredam berbagai permasalahan
sosial seperti kejahatan sosial yang terjadi di lingkungan tempat tinggal.
Menurut Maslow, rasa aman merupakan
kebutuhan dasar manusia setelah terpenuhinya kebutuhan fisiologis. Perasaan
aman akan menjamin berlangsungnya kehidupan seseorang. Sebaliknya adanya
perasaan takut atau adanya ancaman bagi seseorang membuat hidupnya menjadi
terganggu, tidak bebas, dan terhambat. Jika rasa aman hilang dari semua orang,
kestabilan sosial di dalam masyarakat menjadi terganggu. Dampaknya bisa
menimbulkan permasalahan sosial lain seperti hilangnya rasa percaya antar
sesama hingga terjadinya konflik massa.
Data BPS: Susenas 2014 mengumpulkan persepsi terkait rasa aman berdasarkan
beberapa situasi tertentu, seperti berjalan sendirian di siang atau malam hari,
berkendaraan sendirian di malam hari, memarkir kendaraan di luar rumah, serta
meninggalkan rumah dalam keadaan tidak berpenghuni. Mereka yang merasa aman
melakukan aktivitas tersebut cenderung mempunyai sikap percaya yang tinggi.
Rasa aman meningkatkan peluang mereka untuk memanfaatkan modal sosial di
lingkungan tempat tinggal. Gambar 6.1.
menunjukkan penduduk yang merasa aman beraktivitas di lingkungannya mempunyai
besaran modal sosial yang lebih tinggi dibanding merasa tidak aman.
Gambar
6.1: Besaran Modal Sosial Menurut Rasa Aman di Lingkungan Tempat Tinggal, Tahun
2014
Namun,
persepsi rasa aman rumah tangga terhadap lingkungan tempat tinggalnya juga
dapat dipengaruhi oleh trauma rumah tangga yang pernah menjadi korban kejahatan
ataupun trauma terkait banyaknya tindak kejahatan yang sering terjadi di
lingkungan tempat tinggal. Data menunjukkan 3,57 persen rumah tangga pernah
menjadi korban tindak kejahatan. Tindak kejahatan yang dicakup meliputi
pencurian, penganiayaan, pengrusakan barang dan sebagainya yang dialami oleh
beberapa anggota rumah tangga (ART) (Gambar
6.2).. Mereka yang pernah mengalami tindak kejahatan mempunyai besaran
modal sosial yang lebih rendah dibanding mereka yang tidak mengalaminya
Gambar
6.2: Persentase Rumah Tangga dan Besaran Modal Sosial Menurut Kejadian Tindak
Kejahatan, Tahun 2014
Berdasarkan tempat kejadian
tindak kejahatan, sekitar 72,46 persen rumah tangga mengalami tindak kejahatan
di rumah atau di lingkungan tempat tinggal. Dimana 21,71 persen rumah tangga
menyatakan bahwa pelaku adalah orang yang mereka kenal. Kondisi ini tentu saja
sangat memprihatinkan, dan seharusnya dapat dihindari seandainya terdapat
hubungan sosial yang baik antar tetangga. Seseorang yang mampu menjaga sikap
toleransi dan kepedulian terhadap sesama cenderung akan terhindar dari tindak
kejahatan dimanapun dia berada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar