KEMISKINAN DAN KETERKAITANNYA DENGAN MODAL SOSIAL
DI INDONESIA
BAB I
MENGUAK KEMISKINAN DAN
PENANGGULANGAN
KEMISKINAN
1.1.
Pengertian,
Penyebab dan Penanggulangan/Pengentasan Kemiskinan
Bila
gambaran penelaahan Pendapatan
penduduk adalah tidak sulit dilakukan, tetapi menelaah, menguak kemiskinan penduduk dan pengentasannya adalah hal
yang rumit, meskipun ukuran besarannya kecil.
Kemiskinan
timbul diduga hanya karena satu unsur penyebab saja, bahwa suatu rumah tangga
miskin dipandang hanya karena memiliki perilaku
kemiskinan yang sama dengan rumah tangga miskin lainnya, tetapi bila
ditelaah dan dianalisis kemiskinan itu, maka ia akan menjadi komplek dan rumit
dalam penyelesaiannya. Rambatannya, kemiskinan itu bisa saja disebabkan oleh
unsur musibah atau bencana alam atau oleh disebabkan kenaikan harga barang-barang
di pasar (terjadinya inflasi) seperti naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM),
atau disebabkan oleh karena kebodohan atau kurangnya pendidikan penduduk atau
oleh karena penyebab lainnya. Jika unsur penyebab kemiskinan ini di dituntaskan
atau dikentaskan, maka seseorang/rumah tangga itu dapat dikatakan tidak miskin
lagi.
Menurut konsep, kemiskinan secara asal penyebabnya terbagi
menjadi 2 macam. Pertama adalah kemiskinan
kultural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh adanya faktor-faktor adat
atau budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang/rumah tangga atau
sekelompok masyarakat tertentu sehingga membuatnya tetap melekat dengan
kemiskinan. Kemiskinan seperti ini bisa dihilangkan atau bisa dikentaskan
dengan mengabaikan faktor-faktor yang menghalanginya untuk melakukan perubahan
ke arah tingkat kehidupan yang lebih baik. Penyebab kedua adalah kemiskinan struktural, yaitu kemiskinan
yang terjadi sebagai akibat ketidak-berdayaan seseorang/rumah tangga atau
sekelompok masyarakat tertentu terhadap sistem atau tatanan sosial yang tidak
adil, mereka berada pada posisi rendah yang sangat lemah dan tidak memiliki
akses untuk mengembangkan dan membebaskan diri mereka sendiri dari perangkap
kemiskinan, atau dengan perkataan lain ”seseorang/rumah tangga atau sekelompok
masyarakat menjadi miskin karena mereka miskin akses”.
Kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidak-mampuan
ekonomi, tetapi juga tidak memiliki modal sosial, dan kegagalan memenuhi
hak-hak dasar hidup layak dalam tingkatan perbedaan perlakuan bagi seseorang
atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Hak-hak
dasar hidup layak yang diakui secara umum meliputi: terpenuhinya kebutuhan
pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan,
sumber daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari ancaman atau tindakan kejahatan
sosial, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik.
Masalah kemiskinan bangsa sudah dari sejak dahulu merupakan
permasalahan yang bersifat multi dimensi dalam kehidupan berbangsa dan negara,
Sudah berbagai upaya dilakukan Pemerintah Indonesia untuk menanggulangi/mengentaskan
kemiskinan itu, paling tidak menurunkan proporsi atau persentase penduduk
miskin dan menurunkan jumlah penduduk miskin menjadi lebih sedikit di
tahun-tahun mendatang dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya. Berbagai upaya
yang telah dilakukan Pemerintah itu dilakukan dengan memberi bantuan kepada
rumah tagga miskin (RTM) agar supaya harkat dan martabat mereka yang miskin
dapat terangkat, sehingga mereka yang miskin dapat memenuhi kebutuhan hidup
mereka yang sangat paling mendasar untuk hidup layak dan memenuhi standar hidup
minimum dalam memenuhi kebutuhan dasar akan pemenuhan makanan maupun non
makanan (barang & jasa), Standar kehidupan minimum untuk memenuhi kebutuhan
dasar ini disebut sebagai garis
kemiskinan.
Pada Tabel 1 memberikan besarnya batas garis kemiskinan pada
periode Maret 2013 -Maret 2014. Garis kemiskinan pada periode Maret 2013-Maret
2014 mengalami peningkatan sebesar Rp. 31.109,- perkapita per bulan atau
sebesar 11,45 persen, yaitu dari Rp. 271.626,- di Maret 2013 menjadi Rp.
302.735,- di Maret 2014. Keadaan yang sama juga terjadi di wilayah perkotaan
dan perdesaan, yaitu di perkotaan meningkat sebesar 10,20 persen (naik dari Rp.
289.041 menjadi Rp. 318.514) dan di pedesaan meningkat 12,96 persen (naik dari Rp.
253.273 menjadi Rp. 286.079) perkapita per bulan.
Tabel 1 :
Garis Kemiskinan
Menurut Daerah dan Komponennya, Maret 2013 – Maret 2014 (Rp/Kapita/Bulan)
Daerah/
Tahun
|
Garis Kemiskinan
|
||
Makanan (GKM)
|
Non Makanan (GKNM)
|
Jumlah (GK)
|
|
(1)
|
(2)
|
(3)
|
(4)
|
Perkotaan
· Maret
2013
·
Maret
2014
|
202.137
223.091
|
86.904
95.423
|
289.041
318.514
|
Pedesaan
· Maret
2013
·
Maret
2014
|
196.215
221.379
|
57.058
64.718
|
253.273
286.097
|
Perkotaan + Pedesaan
· Maret
2013
·
Maret
2014
|
199.691
222.628
|
71.935
80.107
|
271.626
302.735
|
Sumber: Diolah dari
data Susenas Maret 2013-Maret 2014
Satu
orang anggota rumah tangga di pedesaan yang memiliki pengeluaran dibawah Rp. 286.097
sebulan di tahun 2014 adalah dikatakan orang miskin,
tetapi bila pengeluran satu orang pedesaan ada di atas Rp. 286.097, maka
orang itu dikatakan tidak miskin.
Bila satu
orang anggota
rumah tangga di perkotaan memiliki pengeluaran dibawah Rp. 318.514 sebulan di
tahun 2014, maka dikatakan orang miskin,
tetapi bila pengeluran satu
orang perkotaan
ada di atas Rp. 318.514, maka orang itu dikatakan tidak miskin.
Tetapi menurut Bank Dunia (World Bank), bahwa di tahun 2014
batas garis kemiskinan itu adalah sebesar batas pembelanjaan atau pengeluaran
US $ 1,25 per kapita per hari. (besarnya nilai pengeluaran ini tergantung dari daya
beli uang mata asing (dollar Amerika) di negara Amerika Serikat yang dinilai atas kurs rupiah terhadap mata
uang negara asing/Amerika Serikat). jika dimisalkan nilai tukar adalah Rp.
10.000 per satu dolar, maka garis kemiskinan 1,25 US $ per kapita per hari menjadi Rp. 375.000
per kapita per bulan, (1 bulan = 30 hari).
Kemiskinan itu
dapat diartikan suatu keadaan pendapatan seseorang yang tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidup yang paling mendasar, minimal kalori zat/gizi makanan
yang dibutuhkan tubuh adalah 2100 – 2200 kilo kalori per kapita per hari, giji
makanan itu terdiri dari Karbohidrat 400 – 500 kkal per kapita per hari, lemak
500 kkal, vitamin 600 kkal, protein 600 kkal per kapita per hari, dan tidak
terlupakan juga kebutuhan akan kecukupan air minum yang bersih 10 gelas perkapita
per hari, dan juga untuk memenuhi kebutuhan barang non makanan seperti
perumahan, pakaian, pendidikan, kesehatan, transportasi dan komunikasi, hidup
aman dan lain lain.
Batas minimal pendapatan
atau pengeluaran itu bila dikonversikan ke beras, batas minimalnya menurut pendapat Sayogya, BPS 2000:
bahwa batas minimal pengeluaran adalah setara dengan 330 kg beras per kapita
per tahun di daerah perkotaan, atau 280 kg beras per kapita per tahun di
daerah pedesaan
Menilik kembali ke usaha Pemerintah dalam menanggulangi/mengentaskan
kemiskinan, bantuan Pemerintah bagi rumah tangga miskin (RTM) itu telah
diwujudkan dalam bentuk Program Pengentasan Kemiskinan yang dilakukan secara
bertahap-tahap, antara lain seperti sebagai berikut:
1.
Tahap I, di tahun 1976
– 1987`
Pada tahap I ini, Pemerintah telah berhasil mengurangi jumlah
penduduk miskin se-Indonesia dari 54,6 juta jiwa menjadi 30 juta jiwa. Dukungan
pertumbuhan ekonomi nasional yang
tinggi di masa periode ini, telah menimbulkan dampak bagi meningkatnya pendapatan penduduk golongan rendah.
2.
Tahap II, di tahun 1987
– 1996
Pada tahap II ini, Pemerintah telah dapat mempertahankan
pertumbuhan ekonomi nasional yang tinggi, tetapi belum dapat mengurangi jumlah
penduduk miskin secara angka pasti yang berarti (signifikan), hal ini
disebabkan oleh karena dugaan bahwa distribusi
(penyebaran) penduduk miskin tersebar di seluruh daerah pelosok yang
terpencil yang tidak tersentuh pembangunan. Dalam masa periode ini, berbagai
pembangunan telah dilakukan pemerintah bagi penduduk miskin, seperti:
a.
Program Inpres Desa
Tertinggal (IDT), 3 tahun berturut-turut dari tahun anggaran 1995/1996 –
1997/1998 Program IDT telah dilakukan Pemerintah.
b.
Program Jaringan
Pengaman Sosial (JPS),
Program JPS diberikan pemrintah bagi penduduk miskin untuk
mengurangi beban hidup mereka yang miskin melalui pemberian Sembilan Bahan
Pokok (Sembako), pemberian bantuan Beasiswa Pendidikan dan Bantuan Operasional
Sekolah (BOS), pemberian bantuan modal bagi usaha rumah tangga padat karya, dan
pemberian Pelayanan Kesehatan Gratis bagi keluarga miskin. Selama periode 1976
– 1996 jumlah penduduk miskin telah berhasil diturunkan sebanyak 31,7 juta jiwa,
dengan kata lain selama periode 1976 – 1996 tiap tahunnya rata-rata jumlah
penduduk miskin telah menurun sebanyak 1,58 juta jiwa.
3.
Tahap III, di tahun
1999 – 2004
4.
Tahap IV, Program
Sosial Ekonomi Tahun 2005 (PSE 2015)
Program Sosial Ekonomi Penduduk Tahun 2005 (PSE2015)
dimaksudkan untuk mendapatkan jumlah penduduk miskin berupa rumah tangga miskin
yang akan menerima BLT (Bantuan Langsung Tunai) menurut nama kepala rumah
tangga dan alamat tempat tinggal mereka. Penentuan rumah tangga miskin penerima
BLT pada PSE2015 didasarkan pada pendekatan karakteristik rumah tangga, bukan
dengan pendekatan nilai konsumsi pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan dasar
minimum hidup layak
Adapun indikator/kriteria yang digunakan dalam penentuan
rumah tangga miskin penerima bantuan program PSE2015 ada sebanyak 14 variabel,
yaitu :
1. Luas lantai rumah
2. Jenis lantai rumah
3. Jenis dinding rumah
4. Fasilitas tempat buang air besar
5. Sumber air minum
6. Penerangan yang digunakan
7. Bahan bakar yang digunakan
8. Frekuensi makan dalam sehari
9. Kebiasaan membeli daging/ayam/susu
10. Kemampuan membeli pakaian.
11. Kemampuan berobat ke
puskesmas/poliklinik
12. Lapangan pekerjaan kepala rumah tangga
13. Pendidikan kepala rumah tangga
14. Kepemilikan aset.
Metode yang digunakan dalam penentuan kategori rumah tangga
miskin yang menerima BLT adalah dengan menggunakan sistem skoring yaitu setiap
variabel diberi skor yang diberi bobot dan bobotnya didasarkan kepada besarnya
pengaruh dari setiap variabel terhadap kemiskinan. Setiap variabel terpilih
diberi skor 1 atau 0, skor 1 untuk jawaban yang mengindikasikan miskin dan skor
0 untuk jawaban yang mengindikasikan tidak miskin. Berdasarkan jumlah banyaknya
skor 1 di suatu rumah tangga, semakin tingi nilainya maka semakin miskin rumah
tangga tersebut. Program Sosial Ekonomi Penduduk 2005 (PSE2015) berlangsung
hingga tahun 2007.
5.
Program Perlindungan Sosial Tahun 2008 (PLS 2008)
Tujuan dilaksanakan program PLS2008
adalah :
a.
Mendapatkan daftar nama dan alamat rumah tangga miskin (RTS)
yang telah dimutakhirkan (telah up-date).
b.
Membuang daftar nama-nama kepala rumah-tangga penerima
BLT2005 yang sudah meninggal dunia tanpa ahli waris yang berada pada rumah
tangga yang sama.
c.
Membuang daftar nama rumah-rumah tangga penerima BLT2005 yang
tidak layak sebagai sasaran program PLS2008 karena status ekonominya sudah
tidak miskin lagi.
d.
Memasukkan nama dan alamat rumah-rumah tangga miskin sasaran
baru, baik mereka rumah tangga yang sebelumnya telah tercatat, tetapi pindah
tempat tinggal atau mereka yang belum pernah tercatat sama sekali.
e.
Memperbaharui
informasi tentang kehidupan sosial ekonomi rumah tangga miskin (RTS) khususnya
tentang kualitas tempat tinggal, pendidikan dan pekerjaan kepala rumah tangga.
f.
Menambah data informasi anggota rumah tangga miskin sasaran
baru dengan informasi nama, umur, jenis kelamin, status sekolah dan pekerjaan
anggota rumah tangga dan informasi tambahan tentang kondisi perumahan.
g.
Nama-nama rumah-rumah tangga yang tercatat pada program
PLS2008 inilah yang akan dapat menerima
bantuan dari pemerintah di tahun 2008 hingga tahun-2010.
Adapun indikator/kriteria yang digunakan dalam penentuan
rumah tangga miskin penerima bantuan program PLS2008 adalah yang meliputi :
luas lantai; jenis lantai; jenis dinding; fasilitas tempat buang air besar;
sumber air minum; sumber penerangan; jenis bahan bakar untuk memasak; frekwensi
membeli daging/ayam/susu; frekwensi makan; jumlah pakaian yang biasa dibeli;
kemampuan berobat; lapangan pekerjaan utama; pendidikan kepala rumah tangga
(KRT); dan kepemilikan aset.
6.
Program Perlindungan Sosial Tahun 2011 (PLS 2011)
Program Perlindungan Sosial 2011 (PLS 2011) merupakan program
nasional oleh Pemerintah untuk memberi bantuan bagi rumah-rumah tangga miskin
yang sah mereka telah terdata sebagai rumah tangga atau keluarga menurut nama
dan alamat dari 40 persen rumah tangga
menengah ke bawah. Data-data rumah-rumah tangga miskin pada program PLS2011
ini akan digunakan sebagai Basis Data
Terpadu untuk program bantuan dan perlindungan sosial tahun 2012 - 2014
oleh Pemerintah.
Tujuan dilaksanakan kegiatan Program
PLS2011 adalah :
a. Menghasilkan basis data
terpadu Rumah Tangga atau Keluarga miskin untuk sasaran berbagai program
bantuan dan perlindungan sosial dari Pemerintah. Nama-nama rumah-tangga yang
telah terdata dalam Program PLS2011 ini adalah rumah-rumah tangga yang termasuk
golongan 40 persen kelompok masyarakat menengah ke bawah (masyarakat miskin dan
rentan miskin), dengan persentase berbeda untuk setiap provinsi/kabupaten/kota
sesuai intensitas kemiskinan.
b.
Nama-nama rumah-rumah tangga yang tercatat pada program
PLS2011 inilah yang akan dapat menerima
bantuan dari pemerintah di tahun 2011, hingga di tahun-tahun selanjutnya
dimasukkan dalam Basis Data Terpadu.
c.
Memuat informasi eligibilitas
(keunggulan) program yang diluncurkan oleh Kementerian/Lembaga.
Adapun indikator/kriteria yang ditanyakan dalam penentuan
rumah tangga miskin yang ikut Program PLS2011 adalah:
1.
Keterangan sosial ekonomi ART yaitu nama, hubungan dengan
kepala rumah tangga, nomor urut keluarga, hubungan dengan kepala keluarga,
jenis kelamin, tanggal lahir, umur, status perkawinan, kepemilikan kartu
identitas, kecacatan, penyakit menahun/kronis, kehamilan, pendidikan, dan
kegiatan ekonomi ART yang berumur 5 tahun ke atas.
2.
Mencakup status
penguasaan bangunan, berupa :
a.
Luas lantai,
Data tahun 2014, Luas lantai rumah perkapita: 32,49 persen
rumah tangga miskin (RTM) menempati rumah dengan luas lantai per kapita
maksimal 8 m2.
b.
Jenis lantai,
Data tahun 2014, Jenis lantai rumah: 18,21 persen RTM
menempati rumah dengan jenis lantai dari tanah.
c.
Dinding terluas,
Data tahun 2014, Jenis dinding rumah: 16,45 persen rumah
tangga miskin menempati rumah dengan jenis dinding dari bambu; dan 3,22 persen
dari jenis dinding lainnya.
d.
Atap terluas,
Data tahun 2014, Jenis atap rumah: 4,41 persen rumah tangga
miskin menempati rumah dengan jenis atap dari ijuk/rumbia; dan 2,10 persen dari
jenis atap lainnya
e.
Sumber air minum,
Data tahun 2014, Akses terhadap air bersih: 52,63 persen
rumah tangga miskin tidak memiliki akses terhadap air bersih
f.
Sumber penerangan utama,
Data tahun 2014, Sumber penerangan rumah: 6,80 persen rumah
tangga miskin (RTM) menggunakan sumber
penerangan dari pelita/sentir/obor; dan
1,75 persen dari sumber penerangan lainnya.
g.
Bahan bakar/energi utama untuk memasak,
h.
Fasilitas tempat buang air besar,
Data tahun 2014, Fasilitas jamban: 35,01 persen RTM menggunakan
jamban umum atau tidak memiliki jamban.
i.
tempat pembuangan akhir tinja,
j.
kepemilikan aset,
Data tahun 2014, Status kepemilikan rumah: 86,95 persen rumah
tangga miskin menempati rumah sendiri.
k.
Keikut-sertaan berbagai program.
Nama-nama rumah-rumah tangga inilah yang
memuat keterangan sosial ekonomi ART dan status penguasaan bangunan dimasukkan dalam
Basis Data Terpadu
7.
Program Pemerintah Selanjutnya Berdasarkan Basis Data Terpadu
(BDT)
Basis Data Terpadu (BDT) digunakan untuk memperbaiki kualitas
penetapan sasaran program-program perlindungan sosial. Basis Data Terpadu
membantu perencanaan program, memperbaiki penggunaan anggaran dan sumber daya
program perlindungan sosial. Dengan menggunakan data dari Basis Data Terpadu,
jumlah dan sasaran penerima manfaat program dapat dianalisis sejak awal
perencanaan program. Hal ini akan membantu mengurangi kesalahan dalam penetapan
sasaran program perlindungan sosial.
Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial adalah
sistem data elektronik yang memuat informasi sosial, ekonomi, dan demografi
dari sekitar 25,2 juta rumah tangga atau 96 juta individu penduduk (sesuai data
di tahun 2011) yang berstatus kesejahteraan terendah di Indonesia. Sumber utama
Basis Data Terpadu adalah hasil kegiatan Pendataan PLS2011 yang dilaksanakan
oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Juli - Desember 2011. Basis Data
Terpadu saat ini dikelola oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan (TNP2K). Program BDT adalah bagian dari Open Government Indonesia yang dapat diakses secara online di http://bdt.tnp2k.go.id.
Tingkat akurasi/ketepatan BDT sejauh ini sudah baik dan perlu
ditingkatkan untuk pendataan up-dating (pemutakhiran) BDT mendatang. Hasil uji
petik TNP2K yang melakukan pengecekan nama dan alamat rumah-rumah tangga dalam BDT,
menunjukkan bahwa sekitar 90 s.d. 95 persen nama dan alamat mereka dapat
ditemukan.
Pemanfaatan Basis Data Terpadu digunakan sebagai sumber data
untuk menentukan Rumah Tangga penerima Kartu Perlindungan Sosial (KPS). KPS
dirancang sebagai penanda universal bagi rumah tangga sasaran (RTS) untuk
mengakses program-program perlindungan sosial yang tersedia. Dengan menggunakan
KPS, rumah tangga penerima dapat mengakses Bantuan Langsung Sementara
Masyarakat (BLSM), Bantuan Siswa Miskin (BSM) dan Raskin. Angka kemiskinan di
Indonesia hingga Maret 2014 adalah 11,25 persen (28,28 juta jiwa penduduk).
Sementara itu, rumah tangga penerima KPS adalah sebesar 15,5 juta rumah tangga
miskin atau meliputi 65,6 juta jiwa penduduk. Hal ini menunjukkan bahwa
penerima KPS tidak hanya masyarakat miskin, namun juga termasuk mereka yang
rentan miskin.
1.2.
Instrumen Kluster Penanggulangan /Pengentasan Kemiskinan
Dalam upaya menanggulangi dan mengentaskan kemiskinan,
Pemerintah melakukan berbagai langkah kebijakan yang diwujudkan dalam 3
instrumen kluster penanggulangan kemiskinan yaitu:
1.
Kluster I: Bantuan
Sosial Terpadu Berbasis Keluarga.
Kelompok program ini bertujuan untuk mengurangi beban rumah
tangga miskin melalui peningkatan akses terhadap pelayanan kesehatan,
pendidikan, air bersih dan sanitasi. Paket ini diwujudkan dalam bentuk: beras
miskin (raskin), Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), BSM (Bantuan Siswa
Miskin), PKH (Program Keluarga Harapan) dan BLSM (Bantuan Langsung Sementara
Masyarakat).
a.
Program Keluarga Harapan (PKH)
Program Keluarga Harapan (PKH) adalah program perlindungan
sosial yang memberikan bantuan tunai bersyarat kepada Rumah Tangga/Keluarga
Sangat Miskin (RTSM) dan kepada Rumah Tangga/Keluarga Miskin (RTM) yang telah
ditetapkan sebagai peserta PKH. Dengan ketentuan peserta PKH diwajibkan
memenuhi persyaratan dan komitmen yang terkait dengan upaya peningkatan
kualitas sumber daya manusia (SDM), yaitu pendidikan dan kesehatan. Program
ini, dalam jangka pendek bertujuan mengurangi beban RTSM dan RTM, dan dalam jangka
panjang diharapkan dapat memutus mata rantai kemiskinan antar generasi,
sehingga generasi berikutnya dapat keluar dari perangkap kemiskinan.
Sejak tahun 2012, untuk memperbaiki sasaran penerima PKH,
data awal untuk penerima manfaat PKH diambil dari Basis Data Terpadu hasil PPLS
2011, yang dikelola oleh TNP2K. Sampai dengan tahun 2014, ditargetkan cakupan
PKH adalah sebesar 3,2 juta keluarga. Sasaran PKH yang sebelumnya berbasis
Rumah Tangga, terhitung sejak saat tersebut berubah menjadi berbasis Keluarga.
Perubahan ini untuk mengakomodasi prinsip bahwa keluarga (yaitu orang tua–ayah,
ibu dan anak) adalah satu rumah tangga. Orang tua memiliki tanggung jawab
terhadap pendidikan, kesehatan, kesejahteraan dan masa depan anak. Karena itu
keluarga adalah unit yang sangat relevan dengan peningkatan kualitas sumber
daya manusia dalam upaya memutus rantai kemiskinan antar generasi. Beberapa
keluarga dapat berkumpul dalam satu rumah tangga yang mencerminkan satu
kesatuan pengeluaran pembelanjaan konsumsi (yang dioperasionalkan dalam bentuk
satu dapur).
Keluarga/Rumah tangga yang dapat menjadi peserta PKH
didapatkan dari Basis Data Terpadu dan memenuhi sedikitnya satu kriteria
kepesertaan program berikut, yaitu:
·
Memiliki ibu hamil/nifas/anak balita
·
Memiliki anak usia 5-7 pra sekolah (anak yang belum masuk
pendidikan dasar)
·
Memiliki anak usia SD/MI/Paket A/SDLB (usia 7-12 tahun)
·
Memiliki anak
SLTP/MTs/Paket B/SMLB (Usia 12-15),
·
Memiliki anak 15-18 tahun yang belum menyelesaikan pendidikan
dasar, termasuk anak dengan disabilitas (anak cacat).
b.
Program Beras untuk Keluarga Miskin (Raskin)
Program Raskin adalah suatu program penanggulangan kemiskinan
dan perlindungan sosial dibidang pangan yang dilakukan oleh Pemerintah berupa
bantuan beras bersubsidi kepada rumah tangga berpendapatan rendah (rumah tangga
miskin/rentan miskin). Program nasional ini bersifat lintas sektoral baik
vertikal (Pemerintah Pusat sampai dengan Pemerintah Daerah) maupun horizontal
(lintas Kementerian/Lembaga), sehingga semua pihak yang terkait bertanggung
jawab sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing untuk kelancaran
pelaksanaan dan pencapaian tujuan Program.
Program Raskin bertujuan untuk mengurangi beban pengeluaran
rumah tangga sasaran dalam memenuhi kebutuhan pangan pokok dalam bentuk beras.
Lebih jauh lagi, program raskin bertujuan untuk membantu kelompok miskin dan
rentan miskin mendapatkan cukup pangan dan nutrisi karbohidrat tanpa kendala.
Efektivitas Raskin sebagai perlindungan sosial dan penanggulangan kemiskinan
sangat bergantung pada kecukupan nilai transfer pendapatan dan ketepatan
sasaran kepada kelompok miskin dan rentan miskin.
Rumah tangga yang berhak menerima Raskin, atau juga disebut Rumah Tangga Sasaran Penerima Manfaat
(RTS-PM) Program Raskin, adalah rumah tangga yang terdapat dalam data yang
diterbitkan dari Basis Data Terpadu hasil PPLS 2011 yang dikelola oleh TNP2K
dan disahkan oleh Kemenko Kesra RI.
Di tahun 2012, Program Raskin menyediakan beras bersubsidi
kepada 17,5 juta RTS-PM yang kondisi sosial ekonominya terendah di Indonesia
(kelompok miskin dan rentan miskin). Sedangkan di tahun 2013, Program Raskin
menyediakan beras bersubsidi kepada 15,5 juta RTS-PM. Jumlah RTS-PM Program
Raskin nasional tahun 2014 adalah sebanyak 15.530.897 rumah tangga (tidak
mengalami perubahan dari tahun 2013), yaitu rumah tangga yang menerima Kartu
Perlindungan Sosial (KPS) sebagai penanda kepesertaannya, atau Surat Keterangan
Rumah Tangga Miskin (SKRTM) untuk rumah tangga pengganti hasil musyawarah desa/kelurahan
(musdes/muskel).
c.
Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas)
Kesehatan adalah hak dasar setiap orang, dan semua warga
negara berhak mendapatkan pelayanan kesehatan, termasuk masyarakat miskin. UUD
1945 mengamanatkan bahwa jaminan kesehatan bagi masyarakat, khususnya yang
miskin dan tidak mampu adalah tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah.
Perubahan UUD 1945 Pasal 34 ayat 2 menyebutkan bahwa negara mengembangkan
Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk itu, UU tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) (UU Nomor 40 Tahun 2004) turut menegaskan bahwa
jaminan kesehatan merupakan salah satu bentuk perlindungan sosial. Pada
hakekatnya jaminan kesehatan bertujuan untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat
memenuhi kebutuhan dasar hidup secara layak sesuai batas garis kemiskinan.
Kementerian Kesehatan sejak tahun 2005 telah melaksanakan
program jaminan kesehatan sosial, yang telah mengalami perubahan seiring dengan
perkembangan zaman. Awalnya program ini dikenal dengan nama program Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan bagi Masyarakat Miskin (JPKMM), atau lebih populer
dengan nama program Askeskin (Asuransi Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin).
Kemudian sejak tahun 2008 sampai dengan sekarang program ini berubah nama
menjadi program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). JPKMM, Askeskin
maupun Jamkesmas, kesemuanya memiliki tujuan yang sama, yaitu melaksanakan
penjaminan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat miskin dan tidak mampu,
dengan menggunakan prinsip asuransi kesehatan sosial.
Secara umum, program Jamkesmas bertujuan meningkatkan akses
dan mutu pelayanan kesehatan yang dapat diakses dan bermutu sehingga tercapai
derajat kesehatan yang optimal secara efektif dan efisien bagi seluruh peserta
Jamkesmas.
d.
Program Bantuan Siswa Miskin (BSM)
Bantuan Siswa Miskin (BSM) adalah bantuan yang diberikan
kepada siswa dari keluarga kurang mampu untuk dapat melakukan kegiatan belajar
di sekolah. Kebijakan Program BSM bertujuan agar siswa dari kalangan tidak
mampu dapat terus melanjutkan pendidikan di sekolah. Program ini bersifat
bantuan bukan beasiswa, karena beasiswa bukan berdasarkan kemiskinan, melainkan
berdasarkan prestasi siswa. Bantuan ini memberi peluang bagi siswa untuk
mengikuti pendidikan di level yang lebih tinggi. Selain itu, bertujuan untuk
mengurangi jumlah siswa putus sekolah akibat permasalahan biaya pendidikan
2.
Kluster II:
Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat.
Kelompok program ini sebuah tahap lanjut dalam proses
penanggulangan kemiskinan. Pada tahap ini, masyarakat miskin mulai menyadari
kemampuan dan potensi yang dimilikinya untuk keluar dari kemiskinan. Pendekatan
pemberdayaan sebagai kluster dari program ini dimaksudkan tidak hanya melakukan
penyadaran terhadap masyarakat miskin tentang potensi dan sumberdaya yang
dimiliki, akan tetapi juga mendorong masyarakat miskin untuk berpartisipasi
lebih luas terutama dalam proses pembangunan di daerah.
·
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)
PNPM adalah program nasional dalam wujud
kerangka kebijakan sebagai dasar dan acuan pelaksanaan program-program
penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. PNPM dilaksanakan
melalui harmonisasi dan pengembangan sistem serta mekanisme dan prosedur
program, penyediaan pendampingan dan pendanaan stimulan untuk mendorong
prakarsa dan inovasi masyarakat dalam upaya penanggulangan kemiskinan yang
berkelanjutan.
Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk
menciptakan/ meningkatkan kapasitas masyarakat, baik secara individu maupun
berkelompok, dalam memecahkan berbagai persoalan terkait upaya peningkatan
kualitas hidup, kemandirian dan kesejahteraannya. Pemberdayaan masyarakat
memerlukan keterlibatan yang besar dari perangkat pemerintah daerah serta
berbagai pihak untuk memberikan kesempatan dan menjamin keberlanjutan berbagai
hasil yang dicapai.
3.
Kluster III:
Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Pemberdayaan Usaha Ekonomi Mikro dan Kecil.
Program ini bertujuan untuk memberikan akses dan penguatan
ekonomi bagi pelaku usaha berskala mikro dan kecil. Aspek penting dalam
penguatan adalah memberikan akses seluas-luasnya kepada masyarakat miskin untuk
dapat berusaha dan meningkatkan kualitas hidupnya.
·
Kredit Usaha Rakyat (KUR)
Kredit Usaha Rakyat (KUR) adalah dana
pinjaman dalam bentuk Kredit Modal Kerja (KMK) dan atau Kredit Investasi (KI)
dengan plafon kredit dari Rp. 5.000.000 sampai dengan Rp. 500.000.000. Agunan
pokok KUR adalah proyek/usaha yang dibiayai, namun pemerintah membantu
menanggung melalui program peminjaman hingga maksimal 70 persen dari plafon
kredit. Bantuan berupa fasilitas pinjaman modal ini adalah selain untuk
meningkatkan akses pembiayaan perbankan yang tidak hanya terbatas pada usaha
berskala besar, tetapi juga menjangkau usaha mikro kecil dan menengah seperti
usaha rumah tangga dan jenis usaha mikro lain yang bersifat informal, juga
untuk mempercepat pengembangan sektor riil dan pemberdayaan UMKM (Usaha Mikro,
Kecil dan Menengah).
4.
Kluster IV: Upaya
Peningkatan dan Perluasan Program Pro-rakyat
Kluster penanggulangan kemiskinan berikutnya, pemerintah
menerbitkan Keputusan Presiden No. 10 Tahun 2011 tentang Tim Koordinasi
Peningkatan dan Perluasan Program Pro-Rakyat. Upaya peningkatan dan perluasan
program pro-rakyat (Kluster IV) dilakukan melalui:
a.
Program Rumah Sangat Murah
b.
Program Kendaraan Angkutan Umum Murah
c.
Program Air Bersih untuk Rakyat
d.
Program Listrik Murah dan Hemat
e.
Program Peningkatan Kehidupan Nelayan
f.
Program Peningkatan Kehidupan Masyarakat Miskin Perkotaan
BAB II
HASIL PROGRAM
PENANGGULANGAN KEMISKINAN
Dari keseluruhan kluster penanggulangan dan pengentasan
kemiskinan diatas, untuk tahun-tahun mendatang, kita mengharapkan agar
pemerintah mengupayakan agar pajak penghasilan dari mereka para pelaku ekonomi
kuat (pengusaha/konglomerat) yang berada di posisi golongan atas/teratas agar
dapat penghasilan mereka di transfer sebagian berupa pajak penghasilan atau
modal kepada mereka rumah tangga miskin yang berada di posisi golongan
rendah/terendah. Upaya yang terakhir ini rasanya sangat sulit dilakukan, karena
programnya membutuhkan suatu manajemen/pengelolaan proses pentransferan pajak/
kelebihan penghasilan orang sangat kaya tersebut yang harus dilakukan dengan
rutin terus menerus secara tepat, akurat
dan sempurna serta efektif dan efesien dengan tidak mematikan atau
memundurkan usaha-usaha para pelaku ekonomi kuat (pengusaha/konglomerat)
tersebut, dengan tujuan agar terciptanya keadilan dan pemerataan pendapatan
masyarakat.
Tabel 2 :
Distribusi Persentase
Rumah Tangga Penerima Beras Miskin (Raskin) dan Program Penanggulangan
Kemiskinan Lainnya, Menurut Quintil Pengeluaran Perkapita Rumah Tangga
Per Bulan, Tahun 2014
(Persen)
Quintil
|
Raskin
|
Program
Lainnya
|
||||||
Jamkesmas
|
(BSM) SD/MI
|
Program PNPM
|
KUR
|
|||||
Penerima
Raskin
|
Status
Penerimaan
|
|||||||
Menerima
|
Tidak Menerima
|
|||||||
(1)
|
(2)
|
(3)
|
(4)
|
(5)
|
(6)
|
(7)
|
(8)
|
|
Q1
|
30,63
|
79,20
|
20,80
|
37
|
43
|
24
|
16
|
|
Q2
|
26,56
|
68,68
|
31,32
|
28
|
28
|
24
|
20
|
|
Q3
|
21,57
|
55,76
|
44,24
|
19
|
18
|
22
|
20
|
|
Q4
|
15,51
|
40,11
|
59,89
|
12
|
9
|
23
|
23
|
|
Q5
|
5,73
|
29,61
|
70,39
|
4
|
2
|
7
|
21
|
|
Total
|
100
|
51,71
|
48,29
|
100
|
100
|
100
|
100
|
|
100
|
Hasil program penanggulangan/pengentasan kemiskinan yang
dilakukan oleh Pemerintah. untuk tahun 2012, Program Raskin menyediakan beras
bersubsidi kepada 17,5 juta RTS-PM dengan kondisi sosial ekonomi terendah di
Indonesia (kelompok miskin dan rentan miskin). Sedangkan untuk tahun 2013,
Program Raskin menyediakan beras bersubsidi kepada 15,5 juta RTS-PM. Jumlah
RTS-PM Program Raskin nasional tahun 2014 adalah sebanyak 15.530.897 rumah
tangga (tidak mengalami perubahan dari tahun 2013), yaitu rumah tangga yang
menerima Kartu Perlindungan Sosial (KPS) sebagai penanda kepesertaannya, atau
Surat Keterangan Rumah Tangga Miskin (SKRTM) untuk rumah tangga pengganti hasil
musyawarah desa/kelurahan (musdes/muskel).
Tabel 2 menyajikan Distribusi persentase Rumah Tangga menurut
quintil Pengeluaran Perkapita Rumah tangga Perbulannya, atau menurut tiap-tiap
pembagian pengeluaran 20 persen penduduk menurut golongannya dari golongan
terendah (sangat miskin/miskin) hingga golongan teratas (kaya/sangat kaya)
untuk masing-masing Program penanggulangan kemiskinan, di tahun 2014.
Dari Tabel 2 yang menyajikan distribusi persentase rumah
tangga penerima beras miskin (raskin) menurut quintil pengeluaran rumah tangga
perkapita/bulan (dilihat dari quintil atau 20 persen golongan pengeluaran rumah
tangga dari yang terendah hingga yang tertinggi), tampak bahwa semakin tinggi quintilnya
semakin rendah persentase rumah tangga penerima raskin. Artinya persebaran
rumah tangga penerima raskin didominasi oleh quintil pengeluaran Q1-Q3 dengan
persentase tiap quintilnya lebih dari 20 persen. Tabel 2 juga menunjukkan
catatan yang perlu mendapat perhatian karena beberapa rumah tangga penerima
raskin masih ditemukan pada rumah tangga pada quintil pengeluaran kelompok atas
(Q5) walaupun persentasenya kurang dari 10 persen.
Distribusi persentase rumah tangga status penerima Raskin
menurut quintil pengeluaran rumah tangga disajikan juga pada Tabel 2, Secara
keseluruhan rumah tangga penerima raskin tercatat sebesar 51,71 persen dari
total rumah tangga, rumah tangga yang menerima Raskin lebih banyak di perdesaan
daripada di perkotaan. Semakin tinggi quintil pengeluaran rumah tangga semakin
kecil distribusi persentase rumah tangga yang menerima bantuan Raskin. Perlu
dicatat juga dari tabel 2 terlihat bahwa persentase yang belum menerima Raskin
pada kelompok quintil bawah (Q1) masih tinggi yaitu sebesar 20,80 persen.
Pada Tabel 2 juga menunjukkan distribusi persentase rumah
tangga yang menerima Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), di mana
persentase rumah tangga yang menerima jamkesmas menyebar hampir merata berada
pada quintil 1 sampai quintil 4, tetapi sebagian besar sudah berada pada
quintil 1 dan quntil 2 yang jika ditotal sudah mencapai sekitar 65 persen.
Apabila dilihat distribusi rumah tangga yang menerima Bantuan
Siswa Miskin (BSM) SD/MI pada Tabel 2 juga, dapat dilihat bahwa semakin tinggi
quintilnya semakin rendah persentase rumah tangga penerima BSM . Rumah tangga
pada kelompok terbawah (quintil 1) memiliki persentase yang paling tinggi
sebagai penerima program BSM pada jenjang SD dan MI yaitu mencapai sekitar 43
persen rumah tangga, sedangkan pada rumah tangga kelompok teratas (quintil 5)
ternyata juga masih ada rumah tangga yang menerima program ini, yaitu hanya
sekitar 2 persen.
Tabel 2 juga menyajikan distribusi persentase rumah tangga
yang menerima Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dalam kurun waktu
setahun terakhir menurut quintil pengeluaran perkapita/bulan. Dilihat dari
quintil pengeluaran tampak bahwa rumah tangga yang menerima PNPM hampir merata
diseluruh kelompok quintil, kecuali pada quintil ke-5 yang memiliki persentase
paling kecil yaitu sebesar 7 persen penerima PNPM.
Tabel 2 juga menyajikan distribusi persentase rumah tangga
yang menereima Kredit Usaha Rakyat (KUR) menurut kelompok quintil pengeluaran rumah
tangga per kapita per bulan yang mana dapat dilihat bahwa KUR ini lebih banyak
diakses oleh rumah tangga kelompok menengah-atas khususnya rumah tangga pada
quintil 4-5. Namun rumah tangga pada quintil 1 sampai quintil 3 sebagai
kelompok menengah-bawah juga sudah ikut sebagai peserta program KUR ini.
BAB III
MODAL SOSIAL
3.1. Pengertian Modal Sosial dan Bagian-bagiannya
Modal sosial adalah bagian-bagian
dari organisasi sosial kemasyarakatan seperti kepercayaan, norma, dan jejaring yang dapat meningkatkan
efisiensi dan efektivitas masyarakat dengan memfasilitasi tindakan-tindakan
yang terkoordinasi. Modal sosial juga didefinisikan sebagai kapabilitas
yang muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian
tertentu dari masyarakat tersebut. Selain itu, konsep ini juga diartikan
sebagai serangkaian nilai atau norma yang dimiliki bersama di antara para
anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama.
Istilah modal sosial pertama kali
muncul pada tulisan L.J Hanifan (1916) dalam konteks
peningkatan kondisi hidup masyarakat melalui keterlibatan masyarakat, niat baik
serta atribut-atribut sosial lain dalam bertetangga. Dalam karya tersebut,
muncul ciri utama dari modal sosial
yakni membawa manfaat internal dan eksternal. Setelah karya Hanifan, The Rural School of Community Center,
istilah modal sosial tidak muncul dalam literatur ilmiah selama beberapa
dekade. Baru pada tahun 1956, sekelompok ahli sosiologi perkotaan
Kanada menggunakannya kembali dan diperkuat dengan kemunculan teori pertukaran, George C.Homans pada tahun 1961. Pada era itu,
istilah modal sosial muncul pada pembahasan mengenai ikatan-ikatan komunitas.
Penelitian yang dilakukan James S. Coleman (1988) di bidang pendidikan dan Robert Putnam (1993) mengenai
partisipasi dan kinerja institusi telah menginspirasi banyak kajian mengenai modal
sosial saat ini.
Modal Sosial,
menurut Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi, OECD (Organization for
Economic Co-operation and Development)
mengacu pada lembaga, hubungan, dan norma-norma yang membentuk kualitas
dan kuantitas interaksi sosial suatu masyarakat. Kohesi (keterikatan) sosial
sangat penting bagi masyarakat untuk mencapai kesejahteraan ekonomi dan
pembangunan berkelanjutan. Modal sosial tidak sekedar jumlah institusi yang
mendukung masyarakat, namun modal sosial merupakan perekat diantara mereka.
Beberapa contoh dari modal sosial
antara lain adalah POMG (Persatuan Orang tua Murid dan Guru), OSIS (Organisasi
Siswa Intra Sekolah), kepramukaan, dewan sekolah, liga bowling, komunitas jaringan
internet, dan sebagainya. Semua kelompok ini dapat menolong atau membangun
masyarakat karena mereka menjembatani atau mengikat perilaku. Bila jumlah
interaksi manusia meningkat, orang akan lebih mungkin untuk saling menolong dan
kemudian menjadi lebih terlibat secara politik.
Modal sosial memiliki bagian bagian
seperti kepercayaan, norma, dan jejaring. Secara umum, Pengertian Norma
adalah aturan-aturan atau pedoman sosial yang khusus mengenai tingkah laku,
sikap, dan perbuatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan di
lingkungan kehidupannya.
Berikut ini beberapa Pengertian
Norma Menurut para Ahli:
·
Norma
Menurut Bagja Waluya: Norma
adalah wujud konkret dari nilai yang merupakan pedoman, yaitu berisikan suatu
keharusan bagi individu atau masyarakat dalam berperilaku
·
Norma
Menurut John J. Macionis: Aturan-aturan
dan harapan harapan masyarakat yang memandu perilaku anggota-anggotanya.
·
Norma
Menurut Craig Calhoun: Aturan
atau pedoman yang menyatakan tentang bagaimana seseorang seharusnya bertindak
dalam situasi tertentu.
· Norma
Menurut Isworo Hadi Wiyono: Norma adalah peraturan atau petunjuk hidup yang memberi
ancar-ancar perbuatan mana yang boleh dijalankan dan perbuatan mana yang harus
dihindari.
·
Norma
Menurut Soerjono Soekanto: Norma
adalah suatu perangkat agar hubungan di dalam suatu masyarakat terlaksana
sebagaimana yang diharapkan. Norma-norma mengalami proses pelembagaan atau
melewati suatu norma kemasyarakatan yang baru untuk menjadi bagian dari salah
satu lembaga masyarakat sehingga norma tersebut dikenal, diakui, dihargai, dan
kemudian ditaati dalam kehidupan sehari-hari
·
Norma
Menurut Isworo Hadi Wiyono: Norma
adalah peraturan atau petunjuk hidup yang memberi ancar-ancar perbuatan mana
yang boleh dijalankan dan perbuatan mana yang harus dihindari..
· Norma
Menurut AA Nurdiaman: Norma adalah suatu tatanan hidup yang berupa
aturan - aturan dalam pergaulan hidup pada masyarakat.
·
Norma Menurut Giddens: Prinsip
atau aturan yang konkret , yang seharusnya diperhatikan oleh masyarakat`
Norma
bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat.
Jejaring juga adalah bagian dari modal sosial, Jejaring adalah
pola hubungan dan juga pola sumber daya yang dibawa ke arah hubungan oleh
peserta perkumpulan/organisasi. Jejaring dapat dilihat pada tingkatan yang
berbeda seperti jaringan individual, jaringan sub kelompok atau kelompok yang
berbeda sebagai sebuah sistem yang terstruktur.
3.2.
Teori dan Konsep Modal Sosial
Pembangunan sosial
merupakan upaya peningkatan pendidikan dan pemberdayaan bangsa melalui modal sosial yang dapat dijelaskan oleh
seperangkat strategi kolektif dan terencana guna meningkatkan kualitas hidup
manusia melalui kebijakan sosial yang mencakup sektor pendidikan, kesehatan,
perumahan, ketenaga- kerjaan, jaminan sosial dan penanggulangan kemiskinan.
Pembangunan sosial lebih berorientasi pada peningkatan kualitas hidup manusia
dalam arti luas (Widiowati, 2009).
Kesejahteraan manusia
dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu: (1) modal alam, (2) modal fisik serta (3)
modal manusia dan modal sosial. Modal alam, fisik dan manusia/sosial dikenal
sebagai modal alami pembangunan. Modal sosial erat kaitannya dengan modal
manusia. Modal manusia mewakili pengetahuan, keterampilan dan kesehatan,
sedangkan modal sosial merujuk pada kepercayaan, norma dan jejaring yang memfasilitasi
kerjasama antar manusia di dalam / antar kelompok. Modal sosial bersama modal
manusia secara langsung berpengaruh terhadap kesejahteraan manusia.
Modal sosial terbentuk dari
hubungan sosial antar manusia sehingga besaran modal sosial tergantung pada
kapabilitas sosial individu. Sen (1987)
menekankan bahwa “kapabilitas sosial" individu mempunyai peran yang sama
penting dengan modal pembangunan lainnya (OECD, 2001). Kapabilitas (banyaknya
muatan) sosial individu dapat membentuk modal sosial yang bekerja melalui
jejaring sosial yang seringkali dianggap sebagai perekat yang memungkinkan
modal pembangunan lainnya bekerja secara efektif dan efisien.
Kerangka teori modal sosial
yang paling lengkap diajukan oleh Nan
Lin (1999). Lin menjelaskan adanya ketidaksetaraan individu dalam mengakses
modal sosial yang disebabkan karena perbedaan aset bersama dan posisi individu
dalam struktur sosial. Ketidaksetaraan tersebut dapat mempengaruhi peluang
individu untuk membangun dan memelihara modal sosial. Aset bersama mencakup
partisipasi ekonomi, teknologi, sosial, politik dan budaya. Termasuk pula sikap
percaya, nilai-nilai, dan norma yang dipedomani sebagai acuan bersikap,
bertindak dan bertingkah laku dalam suatu hubungan sosial yang berlaku secara
umum dalam suatu komunitas.
Selanjutnya, pembentukan modal
sosial tergantung pada besarnya akses terhadap sumber daya yang ditentukan oleh
lokasi jejaring dan sumber daya sosial yang dapat dimobilisasi. Dengan
demikian, semakin baik akses individu terhadap modal sosial, semakin banyak
sumber daya melekat yang dapat dimanfaatkan. Selain itu, pembentukan modal
sosial juga membutuhkan investasi modal sosial yang dapat dilakukan dengan
menjalin hubungan sosial yang baru dan memelihara hubungan sosial yang telah
terbentuk.
Perbedaan manifestasi modal
sosial dapat dilihat dari variabel yang digunakan untuk membangun besaran modal
sosial. Modal sosial struktural mengacu pada wujud yang
lebih mudah terlihat dan lebih nyata seperti institusi lokal, organisasi, dan
jaringan antar orang, berdasarkan kondisi budaya, sosial, ekonomi, politik,
atau tujuan lain. Modal sosial kognitif mengacu pada wujud yang lebih
abstrak seperti kepercayaan, norma, dan nilai-nilai, yang mengatur interaksi
antar orang. Jika pengukuran kelompok/organisasi dapat diamati secara langsung
berdasarkan ukuran keanggotaannya, intensitas pertemuan dan kegiatan, maka
norma-norma dan kepercayaan harus diperhatikan secara tidak langsung, melalui
persepsi masyarakat yang bertindak berdasarkan kepatuhan terhadap norma-norma
tersebut.
Modal sosial yang ada dalam
masyarakat menggambarkan proses interaksi
sosial dalam hal akses terhadap jejaring sosial dan partisipasi di dalam
kelompok (Woolcock dan Narayan, 2000).
Interaksi sosial merupakan
suatu hubungan sosial dan interaksi antara satu individu dengan individu
lainnya, dimana kelakuan individu mempengaruhi individu lain begitupun
sebaliknya (Bonner dalam Ali, 2004).
Bentuk proses interaksi sosial dalam mengakses sumber daya dapat dibedakan
menjadi tipologi modal sosial yaitu bonding, bridging dan linking.
Tipologi modal sosial menggambarkan karakteristik interaksi sosial masyarakat
yang berbeda-beda.
Modal sosial suatu masyarakat
dikatakan sebagai bonding ketika
anggota masyarakat saling berserikat dan bekerja sama membentuk jejaring
diantara mereka yang memiliki kesamaan karakteristik tertentu saja, misalnya:
kesamaan suku, daerah, sesama keluarga, tetangga, sahabat karib, dan rekan
kerja (Narayan 1999).
Sementara, modal sosial
dikatakan bridging ketika
masyarakat yang memiliki kesamaan karakteristik geografis dan kesetaraan
pemilikan otoritas, hak, dan kewajiban, saling berserikat dan bekerja sama
dalam suatu jejaring (Narayan dan
Cassidy 2001).
Tipologi modal sosial yang
ketiga adalah, linking. Modal
sosial dikatakan sebagai linking ketika masyarakat atau kelompok
masyarakat memiliki hubungan jejaring terhadap pihak-pihak lain yang memiliki
otoritas atau kekuasaan yang lebih tinggi misalnya: instansi pemerintah,
institusi pendidikan, institusi pelayanan kesehatan, partai politik,
kepolisian, perbankan, dsb (Woolcock
1998; World Bank 2000).
Sejauh
ini pengukuran besaran modal sosial, dari OECD (Organization for Economic
Co-operation and Development) adalah yang paling banyak digunakan oleh
berbagai negara di dunia, seperti Inggris, Australia dan Kanada sebagai acuan
dalam membangun besaran modal sosial.
Perbedaan
instrumen dan definisi variabel yang digunakan dalam menggambarkan modal sosial
oleh masing-masing negara menyebabkan besaran modal sosial yang dihasilkan
belum dapat diperbandingkan secara internasional. Walaupun demikian, secara
umum, Grootaert dan Bastelaar (2002)
merekomendasikan tiga jenis besaran yang dapat digunakan sebagai pendekatan
untuk menggambarkan modal sosial pada level mikro, yaitu besaran :
1. Sikap percaya, dan kepatuhan terhadap
norma yang berlaku
Sikap percaya dan kepatuhan pada norma
merupakan modal sosial kognitif yang membutuhkan persepsi dan pengalaman
penduduk terkait perilaku yang memerlukan sikap percaya.
2. Keanggotaan dalam perkumpulan dan jejaring
lokal/sosial
Keanggotaan dalam perkumpulan dan jejaring
lokal/sosial merupakan besaran modal sosial struktural yang meliputi banyaknya
perkumpulan dan anggotanya, keragaman internal anggota, dan manajemen
perkumpulan seperti pengambilan keputusan yang demokratis.
3. Aksi bersama.
Aksi bersama mencakup berbagai kegiatan yang
dilaksanakan oleh sekelompok orang. Besaran ini mengukur sejauh mana kegiatan
bersama tersebut dapat dilakukan dan merupakan dasar dari kohesi sosial.
BAB IV
MENGATASI
KEMISKINAN DENGAN MENINGKATKAN MODAL SOSIAL
4.1. Mengatasi Kemiskinan Dengan Meningkatkan Sikap
Percaya dan Kepatuhan Terhadap Norma Yang Berlaku
Hubungan
sosial yang biasa dilakukan oleh individu sebagai bagian dari komunitas
masyarakat adalah hubungan vertikal
dengan anggota lainnya yang memiliki otoritas/kekuasaan yang lebih tinggi, dan
hubungan horizontal yang dilakukan sehari-hari antar anggota masyarakat yang
mempunyai posisi yang setara dalam struktur sosial. Keduanya hubungan sosial
ini menggambarkan besaran modal sosial kognitif suatu rumah tangga dengan pihak
yang dianggap berpengaruh atau memiliki otoritas (hubungan vertikal) dan dengan
anggota masyarakat lain yang setara (hubungan horizontal).
Pengalaman
masyarakat dalam kebersamaannya ikut dalam pembangunan adalah sangat berharga untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat dan bangsa, terlebih lagi bagi mereka yang
rumah tangga miskin dapat mengatasi kekurangan mereka agar dapat hidup layak
terpenuhi kebutuhan yang paling mendasar mereka akan pemenuhan makanan dan non
makanan. Kemiskinan yang dirasakan penduduk dapat dikurangi bila mereka dapat
menciptakan/membentuk Sikap Percaya, dan Kepatuhan
Terhadap Norma Yang Berlaku, Sikap
percaya, dan kepatuhan terhadap norma-norma adalah komponen utama modal sosial yang
dibuat mengikat antar individu masyarakat dalam tatanan hidup untuk menjalin
keharmonisan berlangsungnya organisasi/lembaga/negara dan untuk kepentingan
kemajuan bersama. Sikap kepercayaan, dan kepatuhan terhadap norma yang berlaku perlu
dijalin antara individui didalam masyarakat untuk memperoleh modal sosial yang
kuat, dan dengan modal sosial yang kuat membuat kemiskinan akan dapat
tertanggulangi, sehingga kualitas hidup dapat meningkat.
Selama ini, usaha
Pemerintah dalam menanggulangi /mengentaskan kemiskinan masih berkutat pada
bagaimana meningkatkan sumber daya individu masyarakat dalam meningkatkan
kualitas individu agar mampu bersaing di dalam perkembangan zaman dan teknologi
yang melejit, tetapi tidak pernah menyinggung aspek modal sosial di dalam
masyarakat. Keadaan masyarakat yang miskin bisa saja mereka rumah tangga miskin
dalam hal ekonomi rumah tangga, dan bisa kemungkinan mereka juga masih miskin
atau sedikit memiliki modal sosial, hal ini dikarenakan sikap kepercayaan
mereka terhadap orang-orang berpengaruh yang membantu, kepercayaan terhadap para
tokoh masyarakat (aparatur daerah, tokoh masyarakat dan tokoh agama), maupun kepercayaan
terhadap Pemerintah masih dalam confiden (kepercayaan)
kecil hanya sebesar 87,31 persen di tahun 2014 (lihat Tabel 3 rincian 1), disamping
itu masyarakat juga kurang mematuhi peratutan hukum perundang-undangan yang
berlaku di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara, padahal peratuan
dan norma-norma dibuat untuk kepraktisan hidup individu per individu masyarakat
dan membantu manusia dalam hal pemenuhan
kebutuhan ekonominya. Persepsi sikap percaya terhadap orang
berpengaruh, terhadap pada para tokoh masyarakat maupun Pemerintah, ini
menggambarkan besaran modal sosial kognitif suatu rumah tangga/penduduk dengan
pihak yang dianggap berpengaruh atau memiliki otoritas.
, Kemiskinan di pedesaan
sebenarnya mudah ditanggulangi, sebab secara umum masyarakat Indonesia di pedesaan
mempunyai sikap percaya yang lebih tinggi terhadap tokoh di lingkungan desa,
seperti terhadap aparatur desa/kelurahan, tokoh masyarakat, maupun tokoh agama,
dan terhadap tetangga, dibanding masyarakat
di perkotaan. Dari Tabel 3 rincian 2 sikap percaya yang tinggi kepada tetangga
dalam hal menitipkan rumah maupun menitipkan anak pada tetangga hanya sebesar
73,32 persen di tahun 2014. Besar kecilnya kepercayaan antar anggota masyarakat
yang sangat beragam ini dipengaruhi oleh faktor budaya sosial di daerah
masing-masing yang dapat mengurangi kemiskinan yang ada.
Perlu
diketahui bahwa kondisi sosial kultural bangsa Indonsia ini kebanyakan berbasis
pada hubungan kekeluargaan yang tinggi. hubungan kekeluargaan ini hanya akan
tercipta jika basis hubungan kepercayaan di dalam masyarakat dapat berjalan
dengan baik melalui sikap percaya dan kepatuhan terhadap norma yang berlaku,
sehingga modal sosial yang tinggi dapat mengatasi/mengurangi kemiskinan yang
terjadi. Sebenarnya cara yang dapat dilakukan yang pertama adalah menghidupkan
kembali kearifan lokal yang ada pada masyarakat Indonesia. karena kearifan
lokal itulah sebenarnya yang menjaga kelestarian nilai-nilai budaya bangsa
Indonesia. Nilai-nilai itu dijaga dengan berbasis pada sikap percaya dan
kepatuhan terhadap norma yang berlaku di tengah-tengah masyarakat, seperti sikap
mempercayai para tokoh masyarakat dan pemerintah. Kondisi itulah yang
sebenarnya akan memperkaya modal sosial masyarakat. Jika modal sosial di dalam
masyarakat yang berbasis pada hubungan kepercayaan ini dapat dicapai, maka yang
terjadi adalah hubungan yang saling tolong-menolong antar masyarakat. Dengan
tolong menolong maka kemiskinan akan dapat diminimalisir/dikurangi.
Toleransi juga merupakan salah
satu perwujudan modal sosial kognitif yang dipahami sebagai sikap mau menerima
dan menghargai perbedaan di antara anggota masyarakat. Toleransi antar anggota
masyarakat dapat menjamin hak setiap individu untuk bebas dan bertanggung jawab
dalam melakukan kegiatan apapun dengan tidak melanggar nilai-nilai yang berlaku
di komunitas dan hak-hak orang lain. Nilai toleransi masyarakat hanya sebesar
55,26 persen di tahun 2014 (lihat Tabel 3 rincian 4). Toleransi dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari dapat terlihat dari sikap toleran terhadap persahabatan
antar suku bangsa dan agama, maupun kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok
orang dari agama atau suku bangsa lain. Dengan adanya toleransi yang tinggi di
antara anggota masyarakat akan dapat mengurangi kemiskinan yang ada.
4.2. Mengatasi Kemiskinan Dengan Meningkatkan
Keikut-sertaan menjadi anggota perkumpulan dan jejaring sosial
Investasi
modal sosial dapat dilakukan dengan menjalin hubungan sosial yang lebih banyak
pada perkumpulan dan jejaring sosial yang ada, hal ini akan berpeluang bagi peningkatan
modal sosial yang bermanfaat untuk mengatasi/mengurangi kemiskinan.
Manfaat
hubungan sosial mungkin tidak secara langsung dirasakan karena kualitas
hubungan sosial yang terbentuk juga menentukan tertanggulanginya kemiskinan.
Oleh karena itu, investasi modal sosial termasuk pula memelihara hubungan antar
pribadi dengan interaksi sosial yang baik berdasarkan norma dan nilai-nilai
kepercayaan yang berlaku dalam masyarakat.
Untuk mengatasi
ketidak-punyaan/kemiskinan dengan memanfaatkan modal sosial, setiap individu
harus memelihara dan memperluas jejaring sosial. Keduanya dapat dilakukan
dengan menjadi bagian dalam kelompok sosial dan aktif berpartisipasi dalam
berbagai kegiatan. Pada tahun 2014, keikut-sertaan masyarakat dalam
kelompok/organisasi di lingkungan tempat tinggal hanya sebesar 28.86 persen
(lihat Tabel 3 rincian 6). Semakin besar dan banyak jejaring sosial yang
terbentuk, semakin terbuka kesempatan seseorang untuk mengakses dan
memanfaatkan modal sosial yang ada dalam jejaring, sehingga kemiskinannya pun
akan berkurang (memperkaya lingkungan dan diri orang lain).
Partisipasi dalam berbagai
kegiatan warga setempat merupakan salah satu cara untuk melakukan investasi
modal sosial. Contohnya menghadiri pertemuan warga, aktif dalam pengambilan
keputusan dan sebagainya. Investasi modal sosial juga dapat dilakukan dengan
memperluas jejaring sosial, biasanya ini dilakukan dengan menjadi anggota
kelompok atau organisasi yang ada di lingkungan tempat tinggal, kemauan rumah
tangga untuk menjadi bagian dari sebuah kelompok atau organisasi dalam
lingkungan tempat tinggal akan bermanfaat untuk saling melengkapi
kekurangan/mengatasi kemiskinan diantara masing-masing anggotanya.
4.3. Mengatasi
Kemiskinan Dengan Meningkatkan Aksi Bersama (Tolong-Menolong)
Hasbullah (2006) menyatakan bahwa bangsa yang memiliki
modal sosial tinggi cenderung lebih
efisien dan efektif dalam melaksanakan pembangunan untuk menyejahterakan dan
memajukan kehidupan rakyatnya. Modal
sosial dapat meningkatkan kemampuan individu untuk menyelesaikan kompleksitas
masalah kemiskinan, mendorong perubahan yang lebih baik di dalam masyarakat,
menumbuhkan kesadaran kolektif untuk memperbaiki kualitas hidup, dan mencari
peluang yang dapat lebih meningkatkan kesejahteraan bersama. Hal ini terbangun
karena adanya kohesifitas (keeratan) sosial dalam masyarakat yang ditandai
dengan semangat untuk melakukan kebaikan secara ikhlas dan berpartisipasi aktif
dalam rangka mendukung berbagai kegiatan yang
dilaksanakan untuk menanggulangi kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Sifat Kohesifitas
Sosial (karakter suatu masyarakat dalam menghadapi
koneksi dan relasi antar unit sosial seperti individu, grup, asosiasi atau unit
teritorial) yang memiliki hubungan kuat inilah yang dapat memberikan berbagai
keuntungan bersama dari proses dan dinamika sosial yang terdapat dalam
masyarakat tersebut. Salah satu bentuk kohesifitas sosial dalam masyarakat
setingkat desa dapat terlihat dari adanya budaya saling tolong menolong dalam
kehidupan bermasyarakat seperti membantu tetangga yang membutuhkan pertolongan
keuangan. Budaya .tolong menolong ini akan dapat mengurangi kemiskinan.
Partisipasi aktif dari anggota
masyarakat dalam berbagai kegiatan aksi bersama (tolong menolong) dapat
dibedakan menjadi partisipasi dalam kegiatan
sosial dan dalam kegiatan bersama.
Kegiatan sosial merupakan suatu bentuk aksi bersama yang dilakukan oleh
individu maupun kelompok dengan tujuan untuk memaksimalkan utilitas (memberi kepuasan) mereka (Burt 1982: 3; Ruiz 1998: 17). Dalam hal ini, kegiatan sosial
dibedakan menjadi: (1) kegiatan keagamaan, seperti: pengajian, perayaan
keagamaan, dan (2) kegiatan kemasyarakatan, seperti: arisan, olahraga,
kesenian. Sementara, kegiatan bersama merupakan salah satu wujud dari partisipasi
horisontal terhadap prakarsa anggota masyarakat dalam melakukan kegiatan untuk
kepentingan umum maupun dalam rangka membantu anggota masyarakat yang lain yang
miskin karena terkena musibah.
Aksi
bersama yang lebih dikenal dengan istilah gotong-royong yang masih terbina di
lingkungan masyarakat Indonesia, biasanya diadakan dalam bentuk kerja bakti
untuk membersihkan saluran air, membangun fasilitas umum, penggalangan dana
untuk korban bencana dan sebagainya, juga dapat mengurangi kemiskinan di
lingkungan tempat tinggal masyarakat. Di tahun 2014 partisipasi tertinggi
masyarakat dalam aksi bersama adalah
dalam kegiatan menolong warga yang terkena musibah mencapai sebesar 76,33
persen, dalam kegiatan keagamaan sebesar 60,29 persen, dalam kegiatan yang
menyangkut kepentingan umum sebesar 42,36 persen, dan yang terendah adalah
partisipasi warga dalam mengikuti kegiatan kemasyarakatan hanya sebesar 29,46
persen (lihat Tabel 3 rincian 9).
Tabel
3 :
Persentase
Rumah Tangga Menurut Partsipasinya dalam Bagian-bagian Modal Sosial, Tahun 2012
dan 2014 (Persen)
No
|
Uraian Modal
Sosial
|
2012
|
2014
|
(1)
|
(2)
|
(3)
|
(4)
|
1
|
Sikap
percaya/sangat percaya terhadap tokoh masyarakat di Lingkungan desa/kelurahan
|
92,37
|
87,31
|
2
|
Sikap percaya
terhadap tetangga dalam hal menitipkan rumah dan anak umur 1-12 tahun
|
75,93
|
73,32
|
3
|
Sikap
setuju/sangat setuju jika anak bersahabat atau menikah dengan suku bangsa
lain atau agama lain
|
?
|
60,05
|
4
|
Sikap
toleransi, setuju/sangat setuju terhadap kegiatan oleh suku bangsa lain atau
agama lain
|
66,62
|
55,26
|
5
|
Tingkat
partisipasi mengikuti pertemuan warga di lingkungan tempat tinggal, da5lam
setahun terakhir
-
Selalu
-
Sering
-
Jarang
-
Tidak pernah
|
?
?
?
?
|
9,94
34,82
40,21
15,04
|
6
|
Keikut-sertaan
dalam kelompok/oeganisasi di Lingkungan tempat tinggal
|
43,56
|
28,86
|
7
|
Kesediaan
membantu tetangga
-
Sangat bersedia
-
Bersedia
-
Tidak pasti
-
Tidak bersedia
|
10,78
77,08
11,13
1,01
|
1,78
59,43
36,57
2,22
|
8
|
Kemudahan
memperoleh pertolongan keuangan
-
Sulit
-
Tidak sulit
-
Mudah
-
Sangat mudah
|
5,38
31,54
54,51
8,56
|
10,93
46,11
41,12
1,83
|
9
|
Sikap
sering/selalu berpartisipasi dalam aksi bersama (tolong-menolong) di
lingkungan tempat tinggal
·
Kegiatan sosial :
-
Kegiatan keagamaan
-
Kegiatan kemasyarakatan
·
Kegiatan bersama
-
Kegiatan Menolong yang terkena musibah
-
Kegiatan kepentingan umum
|
62,97
41,74
71,34
52,39
|
60,29
29,46
76,33
42,36
|
Sumber : Data Diolah dari data
Statistik Modal Sosial Tahun 2014
Ket erangan : ? = Data tidak
tersedia
Besarnya
kesediaaan membantu tetangga, menunjukkan adanya hubungan resiprositas (memberi dan menerima) dalam masyarakat, dimana rumah
tangga yang bersedia membantu tetangga akan mempunyai persepsi bahwa kelak
mereka juga akan mudah memperoleh pertolongan jika mereka membutuhkan sesuatu,
sehingga apa kebutuhan mereka akan terpenuhi. Keeratan sosial masyarakat dengan
lingkungan sekitarnya diduga menjadi faktor utama yang mempengaruhi persepsi
kesediaan anggota rumah tangga untuk membantu tetangga, oleh karena itu
kohesifitas antar anggota masyarakat sangat mempengaruhi akses rumah tangga
untuk menikmati modal sosial yang ada dalam komunitas, seperti kemudahan
memperoleh pertolongan.
Keeratan
dalam menjalin hubungan sosial antar anggota masyarakat diharapkan mampu
meredam berbagai permasalahan sosial seperti kejahatan sosial yang terjadi di
lingkungan tempat tinggal (Mereka yang pernah menjadi korban tindak kejahatan
mempunyai besaran modal sosial yang lebih rendah dibanding mereka yang tidak
mengalaminya). Sementara mereka yang melakukan tindak kejahatan sosial
disebabkan oleh adanya kesempatan, selain itu juga disebabkan oleh karena
mereka tidak mempunyai uang atau harta materi yang cukup. Jika anggota
masyarakat memiliki jalinan hubungan sosial yang erat yang dapat memperkaya
dirinya, maka perbuatan kejahatan sosial tidak akan pernah terjadi lagi.
. Menurut Maslow, rasa aman merupakan kebutuhan dasar manusia setelah
terpenuhinya kebutuhan fisiologis. Perasaan aman akan menjamin berlangsungnya
kehidupan seseorang, sebaliknya adanya perasaan takut atau adanya ancaman bagi
seseorang membuat hidupnya menjadi terganggu, tidak bebas, dan terhambat. Kejahatan
di lingkungan tempat tinggal seharusnya dapat dihindari seandainya terdapat
hubungan sosial yang baik antar tetangga, sehingga kekurangan/kemiskinan warga
dapat diminimalisir/dikurangi. Seseorang yang mampu menjaga sikap toleransi dan
kepedulian terhadap lingkungan dan sesama, cenderung akan bersikap memperkaya
lingkungannya dan memperkaya orang lain.
Jika rasa aman hilang dari
semua orang, kestabilan sosial di dalam masyarakat menjadi terganggu. Dampaknya
bisa menimbulkan permasalahan sosial lain seperti hilangnya rasa percaya antar
sesama hingga terjadinya konflik massa. Dengan hilangnya kepercayaan antar
manusia maka hubungan yang
mereka jalin biasanya akan menyempit, sehingga jaringan mereka pun menjadi
sempit pula. Padahal aspek jaringan sosial ini sangat membantu manusia dalam
hal pemenuhan kebutuhan ekonominya (untuk menutupi kekurangan/kemiskinannya).
Dahulu kondisi sosial kultural
bangsa Indonsia ini kebanyakan berbasis pada hubungan kepercayaan, namun di era
globalisasi saat ini hubungan yang terjalin tinggallah hubungan transaksional
semata, ada uang ada barang. Orang yang memiliki uang hanya akan mau
bekerjasama dengan orang yang memiliki uang pula. Jarang sekali ada orang kaya
yang mau bekerjasama dengan orang miskin jika mereka tidak ada hubungan
kepercayaan yang baik. Kondisi masyarakat miskin yang berada di dalam posisi rendah
memang tidaklah mudah, karena jalan yang harus mereka tempuh adalah jalan
persaingan ekonomi globalisasi dan pasar bebas. Dalam konteks ini mari kita
kembali (back to origin) mencoba
mengatasi kemiskinan dengan membangun kembali hubungan kepercayaan antar
masyarakat. Tentunya dalam menjalankan hal ini tidaklah mudah, karena akan
banyak tantangan yang harus dilalui. Dalam menjalankan hal ini yang perlu
dilakukan adalah merekatkan kembali hubungan sosial antar masyarakat dari
berbagai kelas sosial yang ada. Karena pada hakikatnya, budaya yang ada pada
masyarakat Indonesia ini dibangun atas dasar hubungan kepercayaan yang tinggi seperti
yang dilakukan oleh nenek moyang bangsa Indonesia dahulu pada masa kejayaan
bangsa dan negara Indonesia. Hubungan yang dibangun antara raja dengan
rakyatnya adalah hubungan saling percaya, dimana raja dipercaya rakyat untuk
melindungi dan memberi kesejahteraan bagi mereka, dan raja juga mepercayai
rakyat bila rakyat akan mengabdi penuh kepada kerajaan. Seperti hubungan inilah
yang akan kita ciptakan terjalin, membentuk rakyat yang serasi dengan
Pemerintah dalam kebersamaan memajukan bangsa dan negara Indonesia.
Jalinan
hubungan yang saling percaya baik antar masyarakat. maupun antara masyarakat
dengan Pemerintah, kepatuhan masyarakat terhadap norma-norma, keikut-sertaan
mereka menjadi anggota perkumpulan dan jejaring sosial, dan keikhlasan melakukan aksi
tolong-menolong akan
memperkaya modal sosial masyarakat. Jika modal sosial di dalam masyarakat dapat
tercapai tinggi, maka yang terjadi adalah akan dapat meminimalisir/mengurangi
kemiskinan masyarakat. Dengan modal sosial masyarakat yang tinggi, akan lebih
merekatkan jarak antara kelas atas dengan kalas bawah di strata sosial
masyarakat. Jika hal ini dapat tercapai, bukan tidak mungkin lagi permasalahan kemiskinan
yang ada di Indonesia ini dapat teratasi dengan awal yang baik melalui
pendekatan hubungan sosial kemasyarakatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar