Dapatkan Uang, klik link ini http://projects.id/uangberkah

Minggu, 17 September 2017

KEMISKINAN DAN KETERKAITANNYA DENGAN MODAL SOSIAL DI INDONESIA


KEMISKINAN DAN KETERKAITANNYA DENGAN MODAL SOSIAL 
DI INDONESIA

BAB I
MENGUAK  KEMISKINAN DAN
PENANGGULANGAN KEMISKINAN

1.1.       Pengertian, Penyebab dan Penanggulangan/Pengentasan Kemiskinan
Bila  gambaran penelaahan Pendapatan penduduk adalah tidak sulit dilakukan, tetapi menelaah, menguak kemiskinan  penduduk dan pengentasannya adalah hal yang rumit, meskipun ukuran besarannya kecil.
Kemiskinan timbul diduga hanya karena satu unsur penyebab saja, bahwa suatu rumah tangga miskin dipandang hanya karena memiliki perilaku kemiskinan yang sama dengan rumah tangga miskin lainnya, tetapi bila ditelaah dan dianalisis kemiskinan itu, maka ia akan menjadi komplek dan rumit dalam penyelesaiannya. Rambatannya, kemiskinan itu bisa saja disebabkan oleh unsur musibah atau bencana alam atau oleh disebabkan kenaikan harga barang-barang di pasar (terjadinya inflasi) seperti naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM), atau disebabkan oleh karena kebodohan atau kurangnya pendidikan penduduk atau oleh karena penyebab lainnya. Jika unsur penyebab kemiskinan ini di dituntaskan atau dikentaskan, maka seseorang/rumah tangga itu dapat dikatakan tidak miskin lagi.
Menurut konsep, kemiskinan secara asal penyebabnya terbagi menjadi 2 macam. Pertama adalah kemiskinan kultural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh adanya faktor-faktor adat atau budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang/rumah tangga atau sekelompok masyarakat tertentu sehingga membuatnya tetap melekat dengan kemiskinan. Kemiskinan seperti ini bisa dihilangkan atau bisa dikentaskan dengan mengabaikan faktor-faktor yang menghalanginya untuk melakukan perubahan ke arah tingkat kehidupan yang lebih baik. Penyebab kedua adalah kemiskinan struktural, yaitu kemiskinan yang terjadi sebagai akibat ketidak-berdayaan seseorang/rumah tangga atau sekelompok masyarakat tertentu terhadap sistem atau tatanan sosial yang tidak adil, mereka berada pada posisi rendah yang sangat lemah dan tidak memiliki akses untuk mengembangkan dan membebaskan diri mereka sendiri dari perangkap kemiskinan, atau dengan perkataan lain ”seseorang/rumah tangga atau sekelompok masyarakat menjadi miskin karena mereka miskin akses”.
Kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidak-mampuan ekonomi, tetapi juga tidak memiliki modal sosial, dan kegagalan memenuhi hak-hak dasar hidup layak dalam tingkatan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Hak-hak dasar hidup layak yang diakui secara umum meliputi: terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari ancaman atau tindakan kejahatan sosial, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik.
Masalah kemiskinan bangsa sudah dari sejak dahulu merupakan permasalahan yang bersifat multi dimensi dalam kehidupan berbangsa dan negara, Sudah berbagai upaya dilakukan Pemerintah Indonesia untuk menanggulangi/mengentaskan kemiskinan itu, paling tidak menurunkan proporsi atau persentase penduduk miskin dan menurunkan jumlah penduduk miskin menjadi lebih sedikit di tahun-tahun mendatang dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya. Berbagai upaya yang telah dilakukan Pemerintah itu dilakukan dengan memberi bantuan kepada rumah tagga miskin (RTM) agar supaya harkat dan martabat mereka yang miskin dapat terangkat, sehingga mereka yang miskin dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka yang sangat paling mendasar untuk hidup layak dan memenuhi standar hidup minimum dalam memenuhi kebutuhan dasar akan pemenuhan makanan maupun non makanan (barang & jasa), Standar kehidupan minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar ini disebut sebagai garis kemiskinan.
Pada Tabel 1 memberikan besarnya batas garis kemiskinan pada periode Maret 2013 -Maret 2014. Garis kemiskinan pada periode Maret 2013-Maret 2014 mengalami peningkatan sebesar Rp. 31.109,- perkapita per bulan atau sebesar 11,45 persen, yaitu dari Rp. 271.626,- di Maret 2013 menjadi Rp. 302.735,- di Maret 2014. Keadaan yang sama juga terjadi di wilayah perkotaan dan perdesaan, yaitu di perkotaan meningkat sebesar 10,20 persen (naik dari Rp. 289.041 menjadi Rp. 318.514) dan di pedesaan meningkat 12,96 persen (naik dari Rp. 253.273 menjadi Rp. 286.079) perkapita per bulan.
Tabel 1 :
Garis Kemiskinan Menurut Daerah dan Komponennya, Maret 2013 – Maret 2014 (Rp/Kapita/Bulan)
Daerah/
Tahun
Garis Kemiskinan
Makanan (GKM)
Non Makanan (GKNM)
Jumlah (GK)
(1)
(2)
(3)
(4)
Perkotaan
·   Maret 2013
·      Maret 2014

202.137
223.091

86.904
95.423

289.041
318.514
Pedesaan
·   Maret 2013
·      Maret 2014

196.215
221.379

57.058
64.718

253.273
286.097
Perkotaan + Pedesaan
·   Maret 2013
·      Maret 2014


199.691
222.628


71.935
80.107


271.626
302.735
Sumber: Diolah dari data Susenas Maret 2013-Maret 2014
Satu orang anggota rumah tangga di pedesaan yang memiliki pengeluaran dibawah Rp. 286.097 sebulan di tahun 2014 adalah dikatakan orang  miskin,  tetapi bila pengeluran satu orang pedesaan ada di atas Rp. 286.097, maka orang itu dikatakan tidak miskin.
Bila satu orang anggota rumah tangga di perkotaan memiliki pengeluaran dibawah Rp. 318.514 sebulan di tahun 2014, maka dikatakan orang miskin,  tetapi bila pengeluran satu orang perkotaan ada di atas Rp. 318.514, maka orang itu dikatakan tidak miskin.
Tetapi menurut Bank Dunia (World Bank), bahwa di tahun 2014 batas garis kemiskinan itu adalah sebesar batas pembelanjaan atau pengeluaran US $ 1,25 per kapita per hari. (besarnya nilai pengeluaran ini tergantung dari daya beli uang mata asing (dollar Amerika) di negara Amerika Serikat  yang dinilai atas kurs rupiah terhadap mata uang negara asing/Amerika Serikat). jika dimisalkan nilai tukar adalah Rp. 10.000 per satu dolar, maka garis kemiskinan 1,25  US $ per kapita per hari menjadi Rp. 375.000 per kapita per bulan, (1 bulan = 30 hari).
Kemiskinan itu dapat diartikan suatu keadaan pendapatan seseorang yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling mendasar, minimal kalori zat/gizi makanan yang dibutuhkan tubuh adalah 2100 – 2200 kilo kalori per kapita per hari, giji makanan itu terdiri dari Karbohidrat 400 – 500 kkal per kapita per hari, lemak 500 kkal, vitamin 600 kkal, protein 600 kkal per kapita per hari, dan tidak terlupakan juga kebutuhan akan kecukupan air minum yang bersih 10 gelas perkapita per hari, dan juga untuk memenuhi kebutuhan barang non makanan seperti perumahan, pakaian, pendidikan, kesehatan, transportasi dan komunikasi, hidup aman dan lain lain.
Batas minimal pendapatan atau pengeluaran itu bila dikonversikan ke beras, batas minimalnya menurut pendapat Sayogya, BPS 2000: bahwa batas minimal pengeluaran adalah setara dengan 330 kg beras per kapita per tahun di daerah perkotaan, atau 280 kg beras per kapita per tahun di daerah  pedesaan
Menilik kembali ke usaha Pemerintah dalam menanggulangi/mengentaskan kemiskinan, bantuan Pemerintah bagi rumah tangga miskin (RTM) itu telah diwujudkan dalam bentuk Program Pengentasan Kemiskinan yang dilakukan secara bertahap-tahap, antara lain seperti sebagai berikut:
1.    Tahap I, di tahun 1976 – 1987`
Pada tahap I ini, Pemerintah telah berhasil mengurangi jumlah penduduk miskin se-Indonesia dari 54,6 juta jiwa menjadi 30 juta jiwa. Dukungan pertumbuhan ekonomi nasional yang tinggi di masa periode ini, telah menimbulkan dampak bagi meningkatnya pendapatan penduduk golongan rendah.
2.    Tahap II, di tahun 1987 – 1996
Pada tahap II ini, Pemerintah telah dapat mempertahankan pertumbuhan ekonomi nasional yang tinggi, tetapi belum dapat mengurangi jumlah penduduk miskin secara angka pasti yang berarti (signifikan), hal ini disebabkan oleh karena dugaan bahwa distribusi (penyebaran) penduduk miskin tersebar di seluruh daerah pelosok yang terpencil yang tidak tersentuh pembangunan. Dalam masa periode ini, berbagai pembangunan telah dilakukan pemerintah bagi penduduk miskin, seperti:
a.    Program Inpres Desa Tertinggal (IDT), 3 tahun berturut-turut dari tahun anggaran 1995/1996 – 1997/1998 Program IDT telah dilakukan Pemerintah.
b.   Program Jaringan Pengaman Sosial (JPS),
 Program JPS diberikan pemrintah bagi penduduk miskin untuk mengurangi beban hidup mereka yang miskin melalui pemberian Sembilan Bahan Pokok (Sembako), pemberian bantuan Beasiswa Pendidikan dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS), pemberian bantuan modal bagi usaha rumah tangga padat karya, dan pemberian Pelayanan Kesehatan Gratis bagi keluarga miskin. Selama periode 1976 – 1996 jumlah penduduk miskin telah berhasil diturunkan sebanyak 31,7 juta jiwa, dengan kata lain selama periode 1976 – 1996 tiap tahunnya rata-rata jumlah penduduk miskin telah menurun sebanyak 1,58 juta jiwa.
3.    Tahap III, di tahun 1999 – 2004
4.    Tahap IV, Program Sosial Ekonomi Tahun 2005 (PSE 2015)
Program Sosial Ekonomi Penduduk Tahun 2005 (PSE2015) dimaksudkan untuk mendapatkan jumlah penduduk miskin berupa rumah tangga miskin yang akan menerima BLT (Bantuan Langsung Tunai) menurut nama kepala rumah tangga dan alamat tempat tinggal mereka. Penentuan rumah tangga miskin penerima BLT pada PSE2015 didasarkan pada pendekatan karakteristik rumah tangga, bukan dengan pendekatan nilai konsumsi pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum hidup layak
Adapun indikator/kriteria yang digunakan dalam penentuan rumah tangga miskin penerima bantuan program PSE2015 ada sebanyak 14 variabel, yaitu :
1. Luas lantai rumah
2. Jenis lantai rumah
3. Jenis dinding rumah
4. Fasilitas tempat buang air besar
5. Sumber air minum
6. Penerangan yang digunakan
7. Bahan bakar yang digunakan
8. Frekuensi makan dalam sehari
9. Kebiasaan membeli daging/ayam/susu
10. Kemampuan membeli pakaian.
11. Kemampuan berobat ke puskesmas/poliklinik
12. Lapangan pekerjaan kepala rumah tangga
13. Pendidikan kepala rumah tangga
14. Kepemilikan aset.
Metode yang digunakan dalam penentuan kategori rumah tangga miskin yang menerima BLT adalah dengan menggunakan sistem skoring yaitu setiap variabel diberi skor yang diberi bobot dan bobotnya didasarkan kepada besarnya pengaruh dari setiap variabel terhadap kemiskinan. Setiap variabel terpilih diberi skor 1 atau 0, skor 1 untuk jawaban yang mengindikasikan miskin dan skor 0 untuk jawaban yang mengindikasikan tidak miskin. Berdasarkan jumlah banyaknya skor 1 di suatu rumah tangga, semakin tingi nilainya maka semakin miskin rumah tangga tersebut. Program Sosial Ekonomi Penduduk 2005 (PSE2015) berlangsung hingga tahun 2007.
5.    Program Perlindungan Sosial Tahun 2008 (PLS 2008)
Tujuan dilaksanakan program PLS2008 adalah :
a.    Mendapatkan daftar nama dan alamat rumah tangga miskin (RTS) yang telah dimutakhirkan (telah up-date).
b.   Membuang daftar nama-nama kepala rumah-tangga penerima BLT2005 yang sudah meninggal dunia tanpa ahli waris yang berada pada rumah tangga yang sama.
c.    Membuang daftar nama rumah-rumah tangga penerima BLT2005 yang tidak layak sebagai sasaran program PLS2008 karena status ekonominya sudah tidak miskin lagi.
d.   Memasukkan nama dan alamat rumah-rumah tangga miskin sasaran baru, baik mereka rumah tangga yang sebelumnya telah tercatat, tetapi pindah tempat tinggal atau mereka yang belum pernah tercatat sama sekali.
e.     Memperbaharui informasi tentang kehidupan sosial ekonomi rumah tangga miskin (RTS) khususnya tentang kualitas tempat tinggal, pendidikan dan pekerjaan kepala rumah tangga.
f.     Menambah data informasi anggota rumah tangga miskin sasaran baru dengan informasi nama, umur, jenis kelamin, status sekolah dan pekerjaan anggota rumah tangga dan informasi tambahan tentang kondisi perumahan.
g.    Nama-nama rumah-rumah tangga yang tercatat pada program PLS2008 inilah yang  akan dapat menerima bantuan dari pemerintah di tahun 2008 hingga tahun-2010.
Adapun indikator/kriteria yang digunakan dalam penentuan rumah tangga miskin penerima bantuan program PLS2008 adalah yang meliputi : luas lantai; jenis lantai; jenis dinding; fasilitas tempat buang air besar; sumber air minum; sumber penerangan; jenis bahan bakar untuk memasak; frekwensi membeli daging/ayam/susu; frekwensi makan; jumlah pakaian yang biasa dibeli; kemampuan berobat; lapangan pekerjaan utama; pendidikan kepala rumah tangga (KRT); dan kepemilikan aset.
6.    Program Perlindungan Sosial Tahun 2011 (PLS 2011)
Program Perlindungan Sosial 2011 (PLS 2011) merupakan program nasional oleh Pemerintah untuk memberi bantuan bagi rumah-rumah tangga miskin yang sah mereka telah terdata sebagai rumah tangga atau keluarga menurut nama dan alamat dari 40 persen rumah tangga menengah ke bawah. Data-data rumah-rumah tangga miskin pada program PLS2011 ini akan digunakan sebagai Basis Data Terpadu untuk program bantuan dan perlindungan sosial tahun 2012 - 2014 oleh Pemerintah.
Tujuan dilaksanakan kegiatan Program PLS2011 adalah :
a. Menghasilkan basis data terpadu Rumah Tangga atau Keluarga miskin untuk sasaran berbagai program bantuan dan perlindungan sosial dari Pemerintah. Nama-nama rumah-tangga yang telah terdata dalam Program PLS2011 ini adalah rumah-rumah tangga yang termasuk golongan 40 persen kelompok masyarakat menengah ke bawah (masyarakat miskin dan rentan miskin), dengan persentase berbeda untuk setiap provinsi/kabupaten/kota sesuai intensitas kemiskinan.
b.    Nama-nama rumah-rumah tangga yang tercatat pada program PLS2011 inilah yang  akan dapat menerima bantuan dari pemerintah di tahun 2011, hingga di tahun-tahun selanjutnya dimasukkan dalam Basis Data Terpadu.
c.    Memuat informasi eligibilitas (keunggulan) program yang diluncurkan oleh Kementerian/Lembaga.
Adapun indikator/kriteria yang ditanyakan dalam penentuan rumah tangga miskin yang ikut Program PLS2011 adalah:
1.    Keterangan sosial ekonomi ART yaitu nama, hubungan dengan kepala rumah tangga, nomor urut keluarga, hubungan dengan kepala keluarga, jenis kelamin, tanggal lahir, umur, status perkawinan, kepemilikan kartu identitas, kecacatan, penyakit menahun/kronis, kehamilan, pendidikan, dan kegiatan ekonomi ART yang berumur 5 tahun ke atas.
2.     Mencakup status penguasaan bangunan, berupa :
a.    Luas lantai,
Data tahun 2014, Luas lantai rumah perkapita: 32,49 persen rumah tangga miskin (RTM) menempati rumah dengan luas lantai per kapita maksimal 8 m2.
b.    Jenis lantai,
Data tahun 2014, Jenis lantai rumah: 18,21 persen RTM menempati rumah dengan jenis lantai dari tanah.
c.    Dinding terluas,
Data tahun 2014, Jenis dinding rumah: 16,45 persen rumah tangga miskin menempati rumah dengan jenis dinding dari bambu; dan 3,22 persen dari jenis dinding lainnya.
d.   Atap terluas,
Data tahun 2014, Jenis atap rumah: 4,41 persen rumah tangga miskin menempati rumah dengan jenis atap dari ijuk/rumbia; dan 2,10 persen dari jenis atap lainnya
e.    Sumber air minum,
Data tahun 2014, Akses terhadap air bersih: 52,63 persen rumah tangga miskin tidak memiliki akses terhadap air bersih
f.     Sumber penerangan utama,
     Data tahun 2014, Sumber penerangan rumah: 6,80 persen rumah tangga miskin  (RTM) menggunakan sumber penerangan dari  pelita/sentir/obor; dan 1,75 persen dari sumber penerangan lainnya.
g.    Bahan bakar/energi utama untuk memasak,
h.    Fasilitas tempat buang air besar,
     Data tahun 2014, Fasilitas jamban: 35,01 persen RTM menggunakan jamban umum atau tidak memiliki jamban.
i.      tempat pembuangan akhir tinja,
j.      kepemilikan aset,
     Data tahun 2014, Status kepemilikan rumah: 86,95 persen rumah tangga miskin menempati rumah sendiri.
k.    Keikut-sertaan berbagai program.
Nama-nama rumah-rumah tangga inilah yang memuat keterangan sosial ekonomi ART dan status penguasaan bangunan dimasukkan dalam Basis Data Terpadu
7.         Program Pemerintah Selanjutnya Berdasarkan Basis Data Terpadu (BDT)
Basis Data Terpadu (BDT) digunakan untuk memperbaiki kualitas penetapan sasaran program-program perlindungan sosial. Basis Data Terpadu membantu perencanaan program, memperbaiki penggunaan anggaran dan sumber daya program perlindungan sosial. Dengan menggunakan data dari Basis Data Terpadu, jumlah dan sasaran penerima manfaat program dapat dianalisis sejak awal perencanaan program. Hal ini akan membantu mengurangi kesalahan dalam penetapan sasaran program perlindungan sosial.
Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial adalah sistem data elektronik yang memuat informasi sosial, ekonomi, dan demografi dari sekitar 25,2 juta rumah tangga atau 96 juta individu penduduk (sesuai data di tahun 2011) yang berstatus kesejahteraan terendah di Indonesia. Sumber utama Basis Data Terpadu adalah hasil kegiatan Pendataan PLS2011 yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Juli - Desember 2011. Basis Data Terpadu saat ini dikelola oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Program BDT adalah bagian dari Open Government Indonesia yang dapat diakses secara online di http://bdt.tnp2k.go.id.
Tingkat akurasi/ketepatan BDT sejauh ini sudah baik dan perlu ditingkatkan untuk pendataan up-dating (pemutakhiran) BDT mendatang. Hasil uji petik TNP2K yang melakukan pengecekan nama dan alamat rumah-rumah tangga dalam BDT, menunjukkan bahwa sekitar 90 s.d. 95 persen nama dan alamat mereka dapat ditemukan.
Pemanfaatan Basis Data Terpadu digunakan sebagai sumber data untuk menentukan Rumah Tangga penerima Kartu Perlindungan Sosial (KPS). KPS dirancang sebagai penanda universal bagi rumah tangga sasaran (RTS) untuk mengakses program-program perlindungan sosial yang tersedia. Dengan menggunakan KPS, rumah tangga penerima dapat mengakses Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), Bantuan Siswa Miskin (BSM) dan Raskin. Angka kemiskinan di Indonesia hingga Maret 2014 adalah 11,25 persen (28,28 juta jiwa penduduk). Sementara itu, rumah tangga penerima KPS adalah sebesar 15,5 juta rumah tangga miskin atau meliputi 65,6 juta jiwa penduduk. Hal ini menunjukkan bahwa penerima KPS tidak hanya masyarakat miskin, namun juga termasuk mereka yang rentan miskin.
1.2.       Instrumen Kluster  Penanggulangan /Pengentasan Kemiskinan
Dalam upaya menanggulangi dan mengentaskan kemiskinan, Pemerintah melakukan berbagai langkah kebijakan yang diwujudkan dalam 3 instrumen kluster penanggulangan kemiskinan yaitu:
1.    Kluster I: Bantuan Sosial Terpadu Berbasis Keluarga.
Kelompok program ini bertujuan untuk mengurangi beban rumah tangga miskin melalui peningkatan akses terhadap pelayanan kesehatan, pendidikan, air bersih dan sanitasi. Paket ini diwujudkan dalam bentuk: beras miskin (raskin), Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), BSM (Bantuan Siswa Miskin), PKH (Program Keluarga Harapan) dan BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat).
a.    Program Keluarga Harapan (PKH)
Program Keluarga Harapan (PKH) adalah program perlindungan sosial yang memberikan bantuan tunai bersyarat kepada Rumah Tangga/Keluarga Sangat Miskin (RTSM) dan kepada Rumah Tangga/Keluarga Miskin (RTM) yang telah ditetapkan sebagai peserta PKH. Dengan ketentuan peserta PKH diwajibkan memenuhi persyaratan dan komitmen yang terkait dengan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), yaitu pendidikan dan kesehatan. Program ini, dalam jangka pendek bertujuan mengurangi beban RTSM dan RTM, dan dalam jangka panjang diharapkan dapat memutus mata rantai kemiskinan antar generasi, sehingga generasi berikutnya dapat keluar dari perangkap kemiskinan.
Sejak tahun 2012, untuk memperbaiki sasaran penerima PKH, data awal untuk penerima manfaat PKH diambil dari Basis Data Terpadu hasil PPLS 2011, yang dikelola oleh TNP2K. Sampai dengan tahun 2014, ditargetkan cakupan PKH adalah sebesar 3,2 juta keluarga. Sasaran PKH yang sebelumnya berbasis Rumah Tangga, terhitung sejak saat tersebut berubah menjadi berbasis Keluarga. Perubahan ini untuk mengakomodasi prinsip bahwa keluarga (yaitu orang tua–ayah, ibu dan anak) adalah satu rumah tangga. Orang tua memiliki tanggung jawab terhadap pendidikan, kesehatan, kesejahteraan dan masa depan anak. Karena itu keluarga adalah unit yang sangat relevan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam upaya memutus rantai kemiskinan antar generasi. Beberapa keluarga dapat berkumpul dalam satu rumah tangga yang mencerminkan satu kesatuan pengeluaran pembelanjaan konsumsi (yang dioperasionalkan dalam bentuk satu dapur).
Keluarga/Rumah tangga yang dapat menjadi peserta PKH didapatkan dari Basis Data Terpadu dan memenuhi sedikitnya satu kriteria kepesertaan program berikut, yaitu:
·      Memiliki ibu hamil/nifas/anak balita
·      Memiliki anak usia 5-7 pra sekolah (anak yang belum masuk pendidikan dasar)
·      Memiliki anak usia SD/MI/Paket A/SDLB (usia 7-12 tahun)
·       Memiliki anak SLTP/MTs/Paket B/SMLB (Usia 12-15),
·      Memiliki anak 15-18 tahun yang belum menyelesaikan pendidikan dasar, termasuk anak dengan disabilitas (anak cacat).



b.    Program Beras untuk Keluarga Miskin (Raskin)
Program Raskin adalah suatu program penanggulangan kemiskinan dan perlindungan sosial dibidang pangan yang dilakukan oleh Pemerintah berupa bantuan beras bersubsidi kepada rumah tangga berpendapatan rendah (rumah tangga miskin/rentan miskin). Program nasional ini bersifat lintas sektoral baik vertikal (Pemerintah Pusat sampai dengan Pemerintah Daerah) maupun horizontal (lintas Kementerian/Lembaga), sehingga semua pihak yang terkait bertanggung jawab sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing untuk kelancaran pelaksanaan dan pencapaian tujuan Program.
Program Raskin bertujuan untuk mengurangi beban pengeluaran rumah tangga sasaran dalam memenuhi kebutuhan pangan pokok dalam bentuk beras. Lebih jauh lagi, program raskin bertujuan untuk membantu kelompok miskin dan rentan miskin mendapatkan cukup pangan dan nutrisi karbohidrat tanpa kendala. Efektivitas Raskin sebagai perlindungan sosial dan penanggulangan kemiskinan sangat bergantung pada kecukupan nilai transfer pendapatan dan ketepatan sasaran kepada kelompok miskin dan rentan miskin.
Rumah tangga yang berhak menerima Raskin, atau juga disebut Rumah Tangga Sasaran Penerima Manfaat (RTS-PM) Program Raskin, adalah rumah tangga yang terdapat dalam data yang diterbitkan dari Basis Data Terpadu hasil PPLS 2011 yang dikelola oleh TNP2K dan disahkan oleh Kemenko Kesra RI.
Di tahun 2012, Program Raskin menyediakan beras bersubsidi kepada 17,5 juta RTS-PM yang kondisi sosial ekonominya terendah di Indonesia (kelompok miskin dan rentan miskin). Sedangkan di tahun 2013, Program Raskin menyediakan beras bersubsidi kepada 15,5 juta RTS-PM. Jumlah RTS-PM Program Raskin nasional tahun 2014 adalah sebanyak 15.530.897 rumah tangga (tidak mengalami perubahan dari tahun 2013), yaitu rumah tangga yang menerima Kartu Perlindungan Sosial (KPS) sebagai penanda kepesertaannya, atau Surat Keterangan Rumah Tangga Miskin (SKRTM) untuk rumah tangga pengganti hasil musyawarah desa/kelurahan (musdes/muskel).
c.     Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas)
Kesehatan adalah hak dasar setiap orang, dan semua warga negara berhak mendapatkan pelayanan kesehatan, termasuk masyarakat miskin. UUD 1945 mengamanatkan bahwa jaminan kesehatan bagi masyarakat, khususnya yang miskin dan tidak mampu adalah tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah. Perubahan UUD 1945 Pasal 34 ayat 2 menyebutkan bahwa negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk itu, UU tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) (UU Nomor 40 Tahun 2004) turut menegaskan bahwa jaminan kesehatan merupakan salah satu bentuk perlindungan sosial. Pada hakekatnya jaminan kesehatan bertujuan untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup secara layak sesuai batas garis kemiskinan.
Kementerian Kesehatan sejak tahun 2005 telah melaksanakan program jaminan kesehatan sosial, yang telah mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman. Awalnya program ini dikenal dengan nama program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Masyarakat Miskin (JPKMM), atau lebih populer dengan nama program Askeskin (Asuransi Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin). Kemudian sejak tahun 2008 sampai dengan sekarang program ini berubah nama menjadi program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). JPKMM, Askeskin maupun Jamkesmas, kesemuanya memiliki tujuan yang sama, yaitu melaksanakan penjaminan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat miskin dan tidak mampu, dengan menggunakan prinsip asuransi kesehatan sosial.
Secara umum, program Jamkesmas bertujuan meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan yang dapat diakses dan bermutu sehingga tercapai derajat kesehatan yang optimal secara efektif dan efisien bagi seluruh peserta Jamkesmas.
d.    Program Bantuan Siswa Miskin (BSM)
Bantuan Siswa Miskin (BSM) adalah bantuan yang diberikan kepada siswa dari keluarga kurang mampu untuk dapat melakukan kegiatan belajar di sekolah. Kebijakan Program BSM bertujuan agar siswa dari kalangan tidak mampu dapat terus melanjutkan pendidikan di sekolah. Program ini bersifat bantuan bukan beasiswa, karena beasiswa bukan berdasarkan kemiskinan, melainkan berdasarkan prestasi siswa. Bantuan ini memberi peluang bagi siswa untuk mengikuti pendidikan di level yang lebih tinggi. Selain itu, bertujuan untuk mengurangi jumlah siswa putus sekolah akibat permasalahan biaya pendidikan
2.    Kluster II: Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat.
Kelompok program ini sebuah tahap lanjut dalam proses penanggulangan kemiskinan. Pada tahap ini, masyarakat miskin mulai menyadari kemampuan dan potensi yang dimilikinya untuk keluar dari kemiskinan. Pendekatan pemberdayaan sebagai kluster dari program ini dimaksudkan tidak hanya melakukan penyadaran terhadap masyarakat miskin tentang potensi dan sumberdaya yang dimiliki, akan tetapi juga mendorong masyarakat miskin untuk berpartisipasi lebih luas terutama dalam proses pembangunan di daerah.
·      Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)
PNPM adalah program nasional dalam wujud kerangka kebijakan sebagai dasar dan acuan pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. PNPM dilaksanakan melalui harmonisasi dan pengembangan sistem serta mekanisme dan prosedur program, penyediaan pendampingan dan pendanaan stimulan untuk mendorong prakarsa dan inovasi masyarakat dalam upaya penanggulangan kemiskinan yang berkelanjutan.
Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk menciptakan/ meningkatkan kapasitas masyarakat, baik secara individu maupun berkelompok, dalam memecahkan berbagai persoalan terkait upaya peningkatan kualitas hidup, kemandirian dan kesejahteraannya. Pemberdayaan masyarakat memerlukan keterlibatan yang besar dari perangkat pemerintah daerah serta berbagai pihak untuk memberikan kesempatan dan menjamin keberlanjutan berbagai hasil yang dicapai.
3.    Kluster III: Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Pemberdayaan Usaha Ekonomi Mikro dan Kecil.
Program ini bertujuan untuk memberikan akses dan penguatan ekonomi bagi pelaku usaha berskala mikro dan kecil. Aspek penting dalam penguatan adalah memberikan akses seluas-luasnya kepada masyarakat miskin untuk dapat berusaha dan meningkatkan kualitas hidupnya.
·      Kredit Usaha Rakyat (KUR)
Kredit Usaha Rakyat (KUR) adalah dana pinjaman dalam bentuk Kredit Modal Kerja (KMK) dan atau Kredit Investasi (KI) dengan plafon kredit dari Rp. 5.000.000 sampai dengan Rp. 500.000.000. Agunan pokok KUR adalah proyek/usaha yang dibiayai, namun pemerintah membantu menanggung melalui program peminjaman hingga maksimal 70 persen dari plafon kredit. Bantuan berupa fasilitas pinjaman modal ini adalah selain untuk meningkatkan akses pembiayaan perbankan yang tidak hanya terbatas pada usaha berskala besar, tetapi juga menjangkau usaha mikro kecil dan menengah seperti usaha rumah tangga dan jenis usaha mikro lain yang bersifat informal, juga untuk mempercepat pengembangan sektor riil dan pemberdayaan UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah).
4.    Kluster IV: Upaya Peningkatan dan Perluasan Program Pro-rakyat
Kluster penanggulangan kemiskinan berikutnya, pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden No. 10 Tahun 2011 tentang Tim Koordinasi Peningkatan dan Perluasan Program Pro-Rakyat. Upaya peningkatan dan perluasan program pro-rakyat (Kluster IV) dilakukan melalui:
a.       Program Rumah Sangat Murah
b.      Program Kendaraan Angkutan Umum Murah
c.       Program Air Bersih untuk Rakyat
d.      Program Listrik Murah dan Hemat
e.       Program Peningkatan Kehidupan Nelayan
f.       Program Peningkatan Kehidupan Masyarakat Miskin Perkotaan



BAB II
HASIL PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN

Dari keseluruhan kluster penanggulangan dan pengentasan kemiskinan diatas, untuk tahun-tahun mendatang, kita mengharapkan agar pemerintah mengupayakan agar pajak penghasilan dari mereka para pelaku ekonomi kuat (pengusaha/konglomerat) yang berada di posisi golongan atas/teratas agar dapat penghasilan mereka di transfer sebagian berupa pajak penghasilan atau modal kepada mereka rumah tangga miskin yang berada di posisi golongan rendah/terendah. Upaya yang terakhir ini rasanya sangat sulit dilakukan, karena programnya membutuhkan suatu manajemen/pengelolaan proses pentransferan pajak/ kelebihan penghasilan orang sangat kaya tersebut yang harus dilakukan dengan rutin terus menerus secara tepat, akurat  dan sempurna serta efektif dan efesien dengan tidak mematikan atau memundurkan usaha-usaha para pelaku ekonomi kuat (pengusaha/konglomerat) tersebut, dengan tujuan agar terciptanya keadilan dan pemerataan pendapatan masyarakat.



Tabel 2 :
Distribusi Persentase Rumah Tangga Penerima Beras Miskin (Raskin) dan Program Penanggulangan Kemiskinan Lainnya, Menurut Quintil Pengeluaran Perkapita  Rumah Tangga
Per Bulan, Tahun 2014 (Persen)
Quintil
Raskin
Program Lainnya

Jamkesmas
(BSM) SD/MI
Program PNPM
KUR
Penerima Raskin
Status Penerimaan

Menerima
Tidak Menerima

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)

Q1
30,63
79,20
20,80
37
43
24
16

Q2
26,56
68,68
31,32
28
28
24
20

Q3
21,57
55,76
44,24
19
18
22
20

Q4
15,51
40,11
59,89
12
9
23
23

Q5
5,73
29,61
70,39
4
2
7
21

Total
100
51,71
48,29
100
100
100
100

100


Hasil program penanggulangan/pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh Pemerintah. untuk tahun 2012, Program Raskin menyediakan beras bersubsidi kepada 17,5 juta RTS-PM dengan kondisi sosial ekonomi terendah di Indonesia (kelompok miskin dan rentan miskin). Sedangkan untuk tahun 2013, Program Raskin menyediakan beras bersubsidi kepada 15,5 juta RTS-PM. Jumlah RTS-PM Program Raskin nasional tahun 2014 adalah sebanyak 15.530.897 rumah tangga (tidak mengalami perubahan dari tahun 2013), yaitu rumah tangga yang menerima Kartu Perlindungan Sosial (KPS) sebagai penanda kepesertaannya, atau Surat Keterangan Rumah Tangga Miskin (SKRTM) untuk rumah tangga pengganti hasil musyawarah desa/kelurahan (musdes/muskel).
Tabel 2 menyajikan Distribusi persentase Rumah Tangga menurut quintil Pengeluaran Perkapita Rumah tangga Perbulannya, atau menurut tiap-tiap pembagian pengeluaran 20 persen penduduk menurut golongannya dari golongan terendah (sangat miskin/miskin) hingga golongan teratas (kaya/sangat kaya) untuk masing-masing Program penanggulangan kemiskinan, di tahun 2014.
Dari Tabel 2 yang menyajikan distribusi persentase rumah tangga penerima beras miskin (raskin) menurut quintil pengeluaran rumah tangga perkapita/bulan (dilihat dari quintil atau 20 persen golongan pengeluaran rumah tangga dari yang terendah hingga yang tertinggi), tampak bahwa semakin tinggi quintilnya semakin rendah persentase rumah tangga penerima raskin. Artinya persebaran rumah tangga penerima raskin didominasi oleh quintil pengeluaran Q1-Q3 dengan persentase tiap quintilnya lebih dari 20 persen. Tabel 2 juga menunjukkan catatan yang perlu mendapat perhatian karena beberapa rumah tangga penerima raskin masih ditemukan pada rumah tangga pada quintil pengeluaran kelompok atas (Q5) walaupun persentasenya kurang dari 10 persen.
Distribusi persentase rumah tangga status penerima Raskin menurut quintil pengeluaran rumah tangga disajikan juga pada Tabel 2, Secara keseluruhan rumah tangga penerima raskin tercatat sebesar 51,71 persen dari total rumah tangga, rumah tangga yang menerima Raskin lebih banyak di perdesaan daripada di perkotaan. Semakin tinggi quintil pengeluaran rumah tangga semakin kecil distribusi persentase rumah tangga yang menerima bantuan Raskin. Perlu dicatat juga dari tabel 2 terlihat bahwa persentase yang belum menerima Raskin pada kelompok quintil bawah (Q1) masih tinggi yaitu sebesar 20,80 persen.
Pada Tabel 2 juga menunjukkan distribusi persentase rumah tangga yang menerima Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), di mana persentase rumah tangga yang menerima jamkesmas menyebar hampir merata berada pada quintil 1 sampai quintil 4, tetapi sebagian besar sudah berada pada quintil 1 dan quntil 2 yang jika ditotal sudah mencapai sekitar 65 persen.
Apabila dilihat distribusi rumah tangga yang menerima Bantuan Siswa Miskin (BSM) SD/MI pada Tabel 2 juga, dapat dilihat bahwa semakin tinggi quintilnya semakin rendah persentase rumah tangga penerima BSM . Rumah tangga pada kelompok terbawah (quintil 1) memiliki persentase yang paling tinggi sebagai penerima program BSM pada jenjang SD dan MI yaitu mencapai sekitar 43 persen rumah tangga, sedangkan pada rumah tangga kelompok teratas (quintil 5) ternyata juga masih ada rumah tangga yang menerima program ini, yaitu hanya sekitar 2 persen.
Tabel 2 juga menyajikan distribusi persentase rumah tangga yang menerima Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dalam kurun waktu setahun terakhir menurut quintil pengeluaran perkapita/bulan. Dilihat dari quintil pengeluaran tampak bahwa rumah tangga yang menerima PNPM hampir merata diseluruh kelompok quintil, kecuali pada quintil ke-5 yang memiliki persentase paling kecil yaitu sebesar 7 persen penerima PNPM.
Tabel 2 juga menyajikan distribusi persentase rumah tangga yang menereima Kredit Usaha Rakyat (KUR) menurut kelompok quintil pengeluaran rumah tangga per kapita per bulan yang mana dapat dilihat bahwa KUR ini lebih banyak diakses oleh rumah tangga kelompok menengah-atas khususnya rumah tangga pada quintil 4-5. Namun rumah tangga pada quintil 1 sampai quintil 3 sebagai kelompok menengah-bawah juga sudah ikut sebagai peserta program KUR ini.




BAB III
MODAL SOSIAL

3.1.   Pengertian Modal Sosial dan Bagian-bagiannya
Modal sosial adalah bagian-bagian dari organisasi sosial kemasyarakatan seperti kepercayaannorma, dan jejaring  yang dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas masyarakat dengan memfasilitasi tindakan-tindakan yang terkoordinasi. Modal sosial juga didefinisikan sebagai kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian tertentu dari masyarakat tersebut. Selain itu, konsep ini juga diartikan sebagai serangkaian nilai atau norma yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama.
Istilah modal sosial pertama kali muncul pada tulisan L.J Hanifan (1916) dalam konteks peningkatan kondisi hidup masyarakat melalui keterlibatan masyarakat, niat baik serta atribut-atribut sosial lain dalam bertetangga. Dalam karya tersebut, muncul ciri utama dari modal sosial yakni membawa manfaat internal dan eksternal. Setelah karya Hanifan, The Rural School of Community Center, istilah modal sosial tidak muncul dalam literatur ilmiah selama beberapa dekade. Baru pada tahun 1956, sekelompok ahli sosiologi perkotaan Kanada menggunakannya kembali dan diperkuat dengan kemunculan teori pertukaran,  George C.Homans pada tahun 1961. Pada era itu, istilah modal sosial muncul pada pembahasan mengenai ikatan-ikatan komunitas. Penelitian yang dilakukan James S. Coleman (1988) di bidang pendidikan dan Robert Putnam (1993) mengenai partisipasi dan kinerja institusi telah  menginspirasi banyak kajian mengenai modal sosial saat ini.
Modal Sosial, menurut Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi, OECD (Organization for Economic Co-operation and Development)  mengacu pada lembaga, hubungan, dan norma-norma yang membentuk kualitas dan kuantitas interaksi sosial suatu masyarakat. Kohesi (keterikatan) sosial sangat penting bagi masyarakat untuk mencapai kesejahteraan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan. Modal sosial tidak sekedar jumlah institusi yang mendukung masyarakat, namun modal sosial merupakan perekat diantara mereka.
Beberapa contoh dari modal sosial antara lain adalah POMG (Persatuan Orang tua Murid dan Guru), OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah), kepramukaan, dewan sekolah, liga bowling, komunitas jaringan internet, dan sebagainya. Semua kelompok ini dapat menolong atau membangun masyarakat karena mereka menjembatani atau mengikat perilaku. Bila jumlah interaksi manusia meningkat, orang akan lebih mungkin untuk saling menolong dan kemudian menjadi lebih terlibat secara politik.
Modal sosial memiliki bagian bagian seperti kepercayaannorma, dan jejaring. Secara umum, Pengertian Norma  adalah aturan-aturan atau pedoman sosial yang khusus mengenai tingkah laku, sikap, dan perbuatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan di lingkungan kehidupannya.
Berikut ini beberapa Pengertian Norma Menurut para Ahli:
·       Norma Menurut Bagja Waluya: Norma adalah wujud konkret dari nilai yang merupakan pedoman, yaitu berisikan suatu keharusan bagi individu atau masyarakat dalam berperilaku
·       Norma Menurut  John J. Macionis: Aturan-aturan dan harapan harapan masyarakat yang memandu perilaku anggota-anggotanya.
·       Norma Menurut  Craig Calhoun: Aturan atau pedoman yang menyatakan tentang bagaimana seseorang seharusnya bertindak dalam situasi tertentu.
·      Norma Menurut  Isworo Hadi Wiyono: Norma adalah peraturan atau petunjuk hidup yang memberi ancar-ancar perbuatan mana yang boleh dijalankan dan perbuatan mana yang harus dihindari.
·       Norma Menurut Soerjono Soekanto: Norma adalah suatu perangkat agar hubungan di dalam suatu masyarakat terlaksana sebagaimana yang diharapkan. Norma-norma mengalami proses pelembagaan atau melewati suatu norma kemasyarakatan yang baru untuk menjadi bagian dari salah satu lembaga masyarakat sehingga norma tersebut dikenal, diakui, dihargai, dan kemudian ditaati dalam kehidupan sehari-hari
·       Norma Menurut Isworo Hadi Wiyono: Norma adalah peraturan atau petunjuk hidup yang memberi ancar-ancar perbuatan mana yang boleh dijalankan dan perbuatan mana yang harus dihindari..
·      Norma Menurut  AA Nurdiaman: Norma adalah suatu tatanan hidup yang berupa aturan - aturan dalam pergaulan hidup pada masyarakat.         
·      Norma Menurut Giddens: Prinsip atau aturan yang konkret , yang seharusnya diperhatikan oleh masyarakat`
Norma bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat.
Jejaring juga adalah bagian dari modal sosial, Jejaring adalah pola hubungan dan juga pola sumber daya yang dibawa ke arah hubungan oleh peserta perkumpulan/organisasi. Jejaring dapat dilihat pada tingkatan yang berbeda seperti jaringan individual, jaringan sub kelompok atau kelompok yang berbeda sebagai sebuah sistem yang terstruktur.

3.2. Teori dan Konsep Modal Sosial
Pembangunan sosial merupakan upaya peningkatan pendidikan dan pemberdayaan bangsa melalui modal sosial yang dapat dijelaskan oleh seperangkat strategi kolektif dan terencana guna meningkatkan kualitas hidup manusia melalui kebijakan sosial yang mencakup sektor pendidikan, kesehatan, perumahan, ketenaga- kerjaan, jaminan sosial dan penanggulangan kemiskinan. Pembangunan sosial lebih berorientasi pada peningkatan kualitas hidup manusia dalam arti luas (Widiowati, 2009).
Kesejahteraan manusia dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu: (1) modal alam, (2) modal fisik serta (3) modal manusia dan modal sosial. Modal alam, fisik dan manusia/sosial dikenal sebagai modal alami pembangunan. Modal sosial erat kaitannya dengan modal manusia. Modal manusia mewakili pengetahuan, keterampilan dan kesehatan, sedangkan modal sosial merujuk pada kepercayaan, norma dan jejaring yang memfasilitasi kerjasama antar manusia di dalam / antar kelompok. Modal sosial bersama modal manusia secara langsung berpengaruh terhadap kesejahteraan manusia.
Modal sosial terbentuk dari hubungan sosial antar manusia sehingga besaran modal sosial tergantung pada kapabilitas sosial individu. Sen (1987) menekankan bahwa “kapabilitas sosial" individu mempunyai peran yang sama penting dengan modal pembangunan lainnya (OECD, 2001). Kapabilitas (banyaknya muatan) sosial individu dapat membentuk modal sosial yang bekerja melalui jejaring sosial yang seringkali dianggap sebagai perekat yang memungkinkan modal pembangunan lainnya bekerja secara efektif dan efisien.
Kerangka teori modal sosial yang paling lengkap diajukan oleh Nan Lin (1999). Lin menjelaskan adanya ketidaksetaraan individu dalam mengakses modal sosial yang disebabkan karena perbedaan aset bersama dan posisi individu dalam struktur sosial. Ketidaksetaraan tersebut dapat mempengaruhi peluang individu untuk membangun dan memelihara modal sosial. Aset bersama mencakup partisipasi ekonomi, teknologi, sosial, politik dan budaya. Termasuk pula sikap percaya, nilai-nilai, dan norma yang dipedomani sebagai acuan bersikap, bertindak dan bertingkah laku dalam suatu hubungan sosial yang berlaku secara umum dalam suatu komunitas.
Selanjutnya, pembentukan modal sosial tergantung pada besarnya akses terhadap sumber daya yang ditentukan oleh lokasi jejaring dan sumber daya sosial yang dapat dimobilisasi. Dengan demikian, semakin baik akses individu terhadap modal sosial, semakin banyak sumber daya melekat yang dapat dimanfaatkan. Selain itu, pembentukan modal sosial juga membutuhkan investasi modal sosial yang dapat dilakukan dengan menjalin hubungan sosial yang baru dan memelihara hubungan sosial yang telah terbentuk.
Perbedaan manifestasi modal sosial dapat dilihat dari variabel yang digunakan untuk membangun besaran modal sosial. Modal sosial struktural mengacu pada wujud yang lebih mudah terlihat dan lebih nyata seperti institusi lokal, organisasi, dan jaringan antar orang, berdasarkan kondisi budaya, sosial, ekonomi, politik, atau tujuan lain. Modal sosial kognitif mengacu pada wujud yang lebih abstrak seperti kepercayaan, norma, dan nilai-nilai, yang mengatur interaksi antar orang. Jika pengukuran kelompok/organisasi dapat diamati secara langsung berdasarkan ukuran keanggotaannya, intensitas pertemuan dan kegiatan, maka norma-norma dan kepercayaan harus diperhatikan secara tidak langsung, melalui persepsi masyarakat yang bertindak berdasarkan kepatuhan terhadap norma-norma tersebut.
Modal sosial yang ada dalam masyarakat menggambarkan proses interaksi sosial dalam hal akses terhadap jejaring sosial dan partisipasi di dalam kelompok (Woolcock dan Narayan, 2000).
Interaksi sosial merupakan suatu hubungan sosial dan interaksi antara satu individu dengan individu lainnya, dimana kelakuan individu mempengaruhi individu lain begitupun sebaliknya (Bonner dalam Ali, 2004). Bentuk proses interaksi sosial dalam mengakses sumber daya dapat dibedakan menjadi tipologi modal sosial yaitu bonding, bridging dan linking. Tipologi modal sosial menggambarkan karakteristik interaksi sosial masyarakat yang berbeda-beda.
Modal sosial suatu masyarakat dikatakan sebagai bonding ketika anggota masyarakat saling berserikat dan bekerja sama membentuk jejaring diantara mereka yang memiliki kesamaan karakteristik tertentu saja, misalnya: kesamaan suku, daerah, sesama keluarga, tetangga, sahabat karib, dan rekan kerja (Narayan 1999). 
Sementara, modal sosial dikatakan bridging ketika masyarakat yang memiliki kesamaan karakteristik geografis dan kesetaraan pemilikan otoritas, hak, dan kewajiban, saling berserikat dan bekerja sama dalam suatu jejaring (Narayan dan Cassidy 2001).
Tipologi modal sosial yang ketiga adalah, linking. Modal sosial dikatakan sebagai linking ketika masyarakat atau kelompok masyarakat memiliki hubungan jejaring terhadap pihak-pihak lain yang memiliki otoritas atau kekuasaan yang lebih tinggi misalnya: instansi pemerintah, institusi pendidikan, institusi pelayanan kesehatan, partai politik, kepolisian, perbankan, dsb (Woolcock 1998; World Bank 2000).
Sejauh ini pengukuran besaran modal sosial, dari OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) adalah yang paling banyak digunakan oleh berbagai negara di dunia, seperti Inggris, Australia dan Kanada sebagai acuan dalam membangun besaran modal sosial. 
Perbedaan instrumen dan definisi variabel yang digunakan dalam menggambarkan modal sosial oleh masing-masing negara menyebabkan besaran modal sosial yang dihasilkan belum dapat diperbandingkan secara internasional. Walaupun demikian, secara umum, Grootaert dan Bastelaar (2002) merekomendasikan tiga jenis besaran yang dapat digunakan sebagai pendekatan untuk menggambarkan modal sosial pada level mikro, yaitu besaran :
1.    Sikap percaya, dan kepatuhan terhadap norma yang berlaku
Sikap percaya dan kepatuhan pada norma merupakan modal sosial kognitif yang membutuhkan persepsi dan pengalaman penduduk terkait perilaku yang memerlukan sikap percaya.
2.    Keanggotaan dalam perkumpulan dan jejaring lokal/sosial
Keanggotaan dalam perkumpulan dan jejaring lokal/sosial merupakan besaran modal sosial struktural yang meliputi banyaknya perkumpulan dan anggotanya, keragaman internal anggota, dan manajemen perkumpulan seperti pengambilan keputusan yang demokratis.
3.    Aksi bersama.
Aksi bersama mencakup berbagai kegiatan yang dilaksanakan oleh sekelompok orang. Besaran ini mengukur sejauh mana kegiatan bersama tersebut dapat dilakukan dan merupakan dasar dari kohesi sosial.


BAB IV
MENGATASI KEMISKINAN DENGAN MENINGKATKAN MODAL SOSIAL

4.1.   Mengatasi Kemiskinan Dengan Meningkatkan Sikap Percaya dan Kepatuhan Terhadap Norma Yang Berlaku
Hubungan sosial yang biasa dilakukan oleh individu sebagai bagian dari komunitas masyarakat  adalah hubungan vertikal dengan anggota lainnya yang memiliki otoritas/kekuasaan yang lebih tinggi, dan hubungan horizontal yang dilakukan sehari-hari antar anggota masyarakat yang mempunyai posisi yang setara dalam struktur sosial. Keduanya hubungan sosial ini menggambarkan besaran modal sosial kognitif suatu rumah tangga dengan pihak yang dianggap berpengaruh atau memiliki otoritas (hubungan vertikal) dan dengan anggota masyarakat lain yang setara (hubungan horizontal).    
Pengalaman masyarakat dalam kebersamaannya ikut dalam pembangunan adalah sangat berharga untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dan bangsa, terlebih lagi bagi mereka yang rumah tangga miskin dapat mengatasi kekurangan mereka agar dapat hidup layak terpenuhi kebutuhan yang paling mendasar mereka akan pemenuhan makanan dan non makanan. Kemiskinan yang dirasakan penduduk dapat dikurangi bila mereka dapat menciptakan/membentuk Sikap Percaya, dan Kepatuhan Terhadap Norma Yang Berlaku, Sikap percaya, dan kepatuhan terhadap norma-norma adalah komponen utama modal sosial yang dibuat mengikat antar individu masyarakat dalam tatanan hidup untuk menjalin keharmonisan berlangsungnya organisasi/lembaga/negara dan untuk kepentingan kemajuan bersama. Sikap kepercayaan, dan kepatuhan terhadap norma yang berlaku perlu dijalin antara individui didalam masyarakat untuk memperoleh modal sosial yang kuat, dan dengan modal sosial yang kuat membuat kemiskinan akan dapat tertanggulangi, sehingga kualitas hidup dapat meningkat.
Selama ini, usaha Pemerintah dalam menanggulangi /mengentaskan kemiskinan masih berkutat pada bagaimana meningkatkan sumber daya individu masyarakat dalam meningkatkan kualitas individu agar mampu bersaing di dalam perkembangan zaman dan teknologi yang melejit, tetapi tidak pernah menyinggung aspek modal sosial di dalam masyarakat. Keadaan masyarakat yang miskin bisa saja mereka rumah tangga miskin dalam hal ekonomi rumah tangga, dan bisa kemungkinan mereka juga masih miskin atau sedikit memiliki modal sosial, hal ini dikarenakan sikap kepercayaan mereka terhadap orang-orang berpengaruh yang membantu, kepercayaan terhadap para tokoh masyarakat (aparatur daerah, tokoh masyarakat dan tokoh agama), maupun kepercayaan terhadap Pemerintah masih dalam confiden (kepercayaan) kecil hanya sebesar 87,31 persen di tahun 2014 (lihat Tabel 3 rincian 1), disamping itu masyarakat juga kurang mematuhi peratutan hukum perundang-undangan yang berlaku di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara, padahal peratuan dan norma-norma dibuat untuk kepraktisan hidup individu per individu masyarakat dan  membantu manusia dalam hal pemenuhan kebutuhan ekonominya. Persepsi sikap percaya terhadap orang berpengaruh, terhadap pada para tokoh masyarakat maupun Pemerintah, ini menggambarkan besaran modal sosial kognitif suatu rumah tangga/penduduk dengan pihak yang dianggap berpengaruh atau memiliki otoritas.   
, Kemiskinan di pedesaan sebenarnya mudah ditanggulangi, sebab secara umum masyarakat Indonesia di pedesaan mempunyai sikap percaya yang lebih tinggi terhadap tokoh di lingkungan desa, seperti terhadap aparatur desa/kelurahan, tokoh masyarakat, maupun tokoh agama, dan terhadap tetangga, dibanding  masyarakat di perkotaan. Dari Tabel 3 rincian 2 sikap percaya yang tinggi kepada tetangga dalam hal menitipkan rumah maupun menitipkan anak pada tetangga hanya sebesar 73,32 persen di tahun 2014. Besar kecilnya kepercayaan antar anggota masyarakat yang sangat beragam ini dipengaruhi oleh faktor budaya sosial di daerah masing-masing yang dapat mengurangi kemiskinan yang ada.
Perlu diketahui bahwa kondisi sosial kultural bangsa Indonsia ini kebanyakan berbasis pada hubungan kekeluargaan yang tinggi. hubungan kekeluargaan ini hanya akan tercipta jika basis hubungan kepercayaan di dalam masyarakat dapat berjalan dengan baik melalui sikap percaya dan kepatuhan terhadap norma yang berlaku, sehingga modal sosial yang tinggi dapat mengatasi/mengurangi kemiskinan yang terjadi. Sebenarnya cara yang dapat dilakukan yang pertama adalah menghidupkan kembali kearifan lokal yang ada pada masyarakat Indonesia. karena kearifan lokal itulah sebenarnya yang menjaga kelestarian nilai-nilai budaya bangsa Indonesia. Nilai-nilai itu dijaga dengan berbasis pada sikap percaya dan kepatuhan terhadap norma yang berlaku di tengah-tengah masyarakat, seperti sikap mempercayai para tokoh masyarakat dan pemerintah. Kondisi itulah yang sebenarnya akan memperkaya modal sosial masyarakat. Jika modal sosial di dalam masyarakat yang berbasis pada hubungan kepercayaan ini dapat dicapai, maka yang terjadi adalah hubungan yang saling tolong-menolong antar masyarakat. Dengan tolong menolong maka kemiskinan akan dapat diminimalisir/dikurangi.
Toleransi juga merupakan salah satu perwujudan modal sosial kognitif yang dipahami sebagai sikap mau menerima dan menghargai perbedaan di antara anggota masyarakat. Toleransi antar anggota masyarakat dapat menjamin hak setiap individu untuk bebas dan bertanggung jawab dalam melakukan kegiatan apapun dengan tidak melanggar nilai-nilai yang berlaku di komunitas dan hak-hak orang lain. Nilai toleransi masyarakat hanya sebesar 55,26 persen di tahun 2014 (lihat Tabel 3 rincian 4). Toleransi dalam kehidupan masyarakat sehari-hari dapat terlihat dari sikap toleran terhadap persahabatan antar suku bangsa dan agama, maupun kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok orang dari agama atau suku bangsa lain. Dengan adanya toleransi yang tinggi di antara anggota masyarakat akan dapat mengurangi kemiskinan yang ada.

4.2.  Mengatasi Kemiskinan Dengan Meningkatkan Keikut-sertaan menjadi anggota perkumpulan dan jejaring sosial
Investasi modal sosial dapat dilakukan dengan menjalin hubungan sosial yang lebih banyak pada perkumpulan dan jejaring sosial yang ada, hal ini akan berpeluang bagi peningkatan modal sosial yang bermanfaat  untuk mengatasi/mengurangi kemiskinan.
Manfaat hubungan sosial mungkin tidak secara langsung dirasakan karena kualitas hubungan sosial yang terbentuk juga menentukan tertanggulanginya kemiskinan. Oleh karena itu, investasi modal sosial termasuk pula memelihara hubungan antar pribadi dengan interaksi sosial yang baik berdasarkan norma dan nilai-nilai kepercayaan yang berlaku dalam masyarakat.
Untuk mengatasi ketidak-punyaan/kemiskinan dengan memanfaatkan modal sosial, setiap individu harus memelihara dan memperluas jejaring sosial. Keduanya dapat dilakukan dengan menjadi bagian dalam kelompok sosial dan aktif berpartisipasi dalam berbagai kegiatan. Pada tahun 2014, keikut-sertaan masyarakat dalam kelompok/organisasi di lingkungan tempat tinggal hanya sebesar 28.86 persen (lihat Tabel 3 rincian 6). Semakin besar dan banyak jejaring sosial yang terbentuk, semakin terbuka kesempatan seseorang untuk mengakses dan memanfaatkan modal sosial yang ada dalam jejaring, sehingga kemiskinannya pun akan berkurang (memperkaya lingkungan dan diri orang lain).
Partisipasi dalam berbagai kegiatan warga setempat merupakan salah satu cara untuk melakukan investasi modal sosial. Contohnya menghadiri pertemuan warga, aktif dalam pengambilan keputusan dan sebagainya. Investasi modal sosial juga dapat dilakukan dengan memperluas jejaring sosial, biasanya ini dilakukan dengan menjadi anggota kelompok atau organisasi yang ada di lingkungan tempat tinggal, kemauan rumah tangga untuk menjadi bagian dari sebuah kelompok atau organisasi dalam lingkungan tempat tinggal akan bermanfaat untuk saling melengkapi kekurangan/mengatasi kemiskinan diantara masing-masing anggotanya.

4.3.   Mengatasi Kemiskinan Dengan Meningkatkan Aksi Bersama (Tolong-Menolong)
Hasbullah (2006) menyatakan bahwa bangsa yang memiliki modal sosial tinggi  cenderung lebih efisien dan efektif dalam melaksanakan pembangunan untuk menyejahterakan dan memajukan kehidupan rakyatnya. Modal  sosial dapat meningkatkan kemampuan individu untuk menyelesaikan kompleksitas masalah kemiskinan, mendorong perubahan yang lebih baik di dalam masyarakat, menumbuhkan kesadaran kolektif untuk memperbaiki kualitas hidup, dan mencari peluang yang dapat lebih meningkatkan kesejahteraan bersama. Hal ini terbangun karena adanya kohesifitas (keeratan) sosial dalam masyarakat yang ditandai dengan semangat untuk melakukan kebaikan secara ikhlas dan berpartisipasi aktif dalam rangka mendukung berbagai kegiatan yang  dilaksanakan untuk menanggulangi kemiskinan dan peningkatan  kesejahteraan rakyat.
Sifat Kohesifitas Sosial (karakter suatu masyarakat dalam menghadapi koneksi dan relasi antar unit sosial seperti individu, grup, asosiasi atau unit teritorial) yang memiliki hubungan kuat inilah yang dapat memberikan berbagai keuntungan bersama dari proses dan dinamika sosial yang terdapat dalam masyarakat tersebut. Salah satu bentuk kohesifitas sosial dalam masyarakat setingkat desa dapat terlihat dari adanya budaya saling tolong menolong dalam kehidupan bermasyarakat seperti membantu tetangga yang membutuhkan pertolongan keuangan. Budaya .tolong menolong ini akan dapat mengurangi kemiskinan.
Partisipasi aktif dari anggota masyarakat dalam berbagai kegiatan aksi bersama (tolong menolong) dapat dibedakan menjadi partisipasi dalam kegiatan sosial dan dalam kegiatan bersama. Kegiatan sosial merupakan suatu bentuk aksi bersama yang dilakukan oleh individu maupun kelompok dengan tujuan untuk memaksimalkan utilitas (memberi kepuasan) mereka (Burt 1982: 3; Ruiz 1998: 17). Dalam hal ini, kegiatan sosial dibedakan menjadi: (1) kegiatan keagamaan, seperti: pengajian, perayaan keagamaan, dan (2) kegiatan kemasyarakatan, seperti: arisan, olahraga, kesenian. Sementara, kegiatan bersama merupakan salah satu wujud dari partisipasi horisontal terhadap prakarsa anggota masyarakat dalam melakukan kegiatan untuk kepentingan umum maupun dalam rangka membantu anggota masyarakat yang lain yang miskin karena terkena musibah.
Aksi bersama yang lebih dikenal dengan istilah gotong-royong yang masih terbina di lingkungan masyarakat Indonesia, biasanya diadakan dalam bentuk kerja bakti untuk membersihkan saluran air, membangun fasilitas umum, penggalangan dana untuk korban bencana dan sebagainya, juga dapat mengurangi kemiskinan di lingkungan tempat tinggal masyarakat. Di tahun 2014 partisipasi tertinggi masyarakat  dalam aksi bersama adalah dalam kegiatan menolong warga yang terkena musibah mencapai sebesar 76,33 persen, dalam kegiatan keagamaan sebesar 60,29 persen, dalam kegiatan yang menyangkut kepentingan umum sebesar 42,36 persen, dan yang terendah adalah partisipasi warga dalam mengikuti kegiatan kemasyarakatan hanya sebesar 29,46 persen (lihat Tabel 3 rincian 9).



Tabel 3 :
Persentase Rumah Tangga Menurut Partsipasinya dalam Bagian-bagian Modal Sosial, Tahun 2012 dan 2014 (Persen)
No
Uraian Modal Sosial
2012
2014
(1)
(2)
(3)
(4)
1
Sikap percaya/sangat percaya terhadap tokoh masyarakat di Lingkungan desa/kelurahan
92,37
87,31
2
Sikap percaya terhadap tetangga dalam hal menitipkan rumah dan anak umur 1-12 tahun
75,93
73,32
3
Sikap setuju/sangat setuju jika anak bersahabat atau menikah dengan suku bangsa lain atau agama lain
?
60,05
4
Sikap toleransi, setuju/sangat setuju terhadap kegiatan oleh suku bangsa lain atau agama lain
66,62
55,26
5
Tingkat partisipasi mengikuti pertemuan warga di lingkungan tempat tinggal, da5lam setahun terakhir
-          Selalu
-          Sering
-          Jarang
-          Tidak pernah


?
?
?
?


9,94
34,82
40,21
15,04
6
Keikut-sertaan dalam kelompok/oeganisasi di Lingkungan tempat tinggal
43,56
28,86
7
Kesediaan membantu tetangga
-          Sangat bersedia
-          Bersedia
-          Tidak pasti
-          Tidak bersedia

10,78
77,08
11,13
1,01

1,78
59,43
36,57
2,22
8
Kemudahan memperoleh  pertolongan keuangan
-          Sulit
-          Tidak sulit
-          Mudah
-          Sangat mudah

5,38
31,54
54,51
8,56

10,93
46,11
41,12
1,83
9
Sikap sering/selalu berpartisipasi dalam aksi bersama (tolong-menolong) di lingkungan tempat tinggal
·         Kegiatan sosial :
-   Kegiatan keagamaan
-   Kegiatan kemasyarakatan
·         Kegiatan bersama
-   Kegiatan Menolong yang terkena musibah
-   Kegiatan kepentingan umum



62,97
41,74

71,34
52,39



60,29
29,46

76,33
42,36
Sumber : Data Diolah dari data Statistik Modal Sosial Tahun 2014
Ket erangan : ? = Data tidak tersedia

Besarnya kesediaaan membantu tetangga, menunjukkan adanya hubungan resiprositas (memberi dan menerima) dalam masyarakat, dimana rumah tangga yang bersedia membantu tetangga akan mempunyai persepsi bahwa kelak mereka juga akan mudah memperoleh pertolongan jika mereka membutuhkan sesuatu, sehingga apa kebutuhan mereka akan terpenuhi. Keeratan sosial masyarakat dengan lingkungan sekitarnya diduga menjadi faktor utama yang mempengaruhi persepsi kesediaan anggota rumah tangga untuk membantu tetangga, oleh karena itu kohesifitas antar anggota masyarakat sangat mempengaruhi akses rumah tangga untuk menikmati modal sosial yang ada dalam komunitas, seperti kemudahan memperoleh pertolongan.
Keeratan dalam menjalin hubungan sosial antar anggota masyarakat diharapkan mampu meredam berbagai permasalahan sosial seperti kejahatan sosial yang terjadi di lingkungan tempat tinggal (Mereka yang pernah menjadi korban tindak kejahatan mempunyai besaran modal sosial yang lebih rendah dibanding mereka yang tidak mengalaminya). Sementara mereka yang melakukan tindak kejahatan sosial disebabkan oleh adanya kesempatan, selain itu juga disebabkan oleh karena mereka tidak mempunyai uang atau harta materi yang cukup. Jika anggota masyarakat memiliki jalinan hubungan sosial yang erat yang dapat memperkaya dirinya, maka perbuatan kejahatan sosial tidak akan pernah terjadi lagi.
. Menurut Maslow, rasa aman merupakan kebutuhan dasar manusia setelah terpenuhinya kebutuhan fisiologis. Perasaan aman akan menjamin berlangsungnya kehidupan seseorang, sebaliknya adanya perasaan takut atau adanya ancaman bagi seseorang membuat hidupnya menjadi terganggu, tidak bebas, dan terhambat. Kejahatan di lingkungan tempat tinggal seharusnya dapat dihindari seandainya terdapat hubungan sosial yang baik antar tetangga, sehingga kekurangan/kemiskinan warga dapat diminimalisir/dikurangi. Seseorang yang mampu menjaga sikap toleransi dan kepedulian terhadap lingkungan dan sesama, cenderung akan bersikap memperkaya lingkungannya dan memperkaya orang lain.
Jika rasa aman hilang dari semua orang, kestabilan sosial di dalam masyarakat menjadi terganggu. Dampaknya bisa menimbulkan permasalahan sosial lain seperti hilangnya rasa percaya antar sesama hingga terjadinya konflik massa. Dengan hilangnya kepercayaan antar manusia maka hubungan yang mereka jalin biasanya akan menyempit, sehingga jaringan mereka pun menjadi sempit pula. Padahal aspek jaringan sosial ini sangat membantu manusia dalam hal pemenuhan kebutuhan ekonominya (untuk menutupi kekurangan/kemiskinannya).
Dahulu kondisi sosial kultural bangsa Indonsia ini kebanyakan berbasis pada hubungan kepercayaan, namun di era globalisasi saat ini hubungan yang terjalin tinggallah hubungan transaksional semata, ada uang ada barang. Orang yang memiliki uang hanya akan mau bekerjasama dengan orang yang memiliki uang pula. Jarang sekali ada orang kaya yang mau bekerjasama dengan orang miskin jika mereka tidak ada hubungan kepercayaan yang baik. Kondisi masyarakat miskin yang berada di dalam posisi rendah memang tidaklah mudah, karena jalan yang harus mereka tempuh adalah jalan persaingan ekonomi globalisasi dan pasar bebas. Dalam konteks ini mari kita kembali (back to origin) mencoba mengatasi kemiskinan dengan membangun kembali hubungan kepercayaan antar masyarakat. Tentunya dalam menjalankan hal ini tidaklah mudah, karena akan banyak tantangan yang harus dilalui. Dalam menjalankan hal ini yang perlu dilakukan adalah merekatkan kembali hubungan sosial antar masyarakat dari berbagai kelas sosial yang ada. Karena pada hakikatnya, budaya yang ada pada masyarakat Indonesia ini dibangun atas dasar hubungan kepercayaan yang tinggi seperti yang dilakukan oleh nenek moyang bangsa Indonesia dahulu pada masa kejayaan bangsa dan negara Indonesia. Hubungan yang dibangun antara raja dengan rakyatnya adalah hubungan saling percaya, dimana raja dipercaya rakyat untuk melindungi dan memberi kesejahteraan bagi mereka, dan raja juga mepercayai rakyat bila rakyat akan mengabdi penuh kepada kerajaan. Seperti hubungan inilah yang akan kita ciptakan terjalin, membentuk rakyat yang serasi dengan Pemerintah dalam kebersamaan memajukan bangsa dan negara Indonesia.
Jalinan hubungan yang saling percaya baik antar masyarakat. maupun antara masyarakat dengan Pemerintah, kepatuhan masyarakat terhadap norma-norma, keikut-sertaan mereka menjadi anggota perkumpulan dan jejaring sosial, dan keikhlasan melakukan aksi tolong-menolong akan memperkaya modal sosial masyarakat. Jika modal sosial di dalam masyarakat dapat tercapai tinggi, maka yang terjadi adalah akan dapat meminimalisir/mengurangi kemiskinan masyarakat. Dengan modal sosial masyarakat yang tinggi, akan lebih merekatkan jarak antara kelas atas dengan kalas bawah di strata sosial masyarakat. Jika hal ini dapat tercapai, bukan tidak mungkin lagi permasalahan kemiskinan yang ada di Indonesia ini dapat teratasi dengan awal yang baik melalui pendekatan hubungan sosial kemasyarakatan.











Tidak ada komentar:

Posting Komentar